Jakarta –
Kuasa hukum tersangka kasus impor gula Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, membantah kliennya memberikan izin impor pada saat kondisi di Indonesia sedang surplus gula. Ari mengatakan data yang menyatakan saat itu Indonesia tengah surplus gula salah.
“Kaitan surplus pada waktu itu itu salah data waktu itu. Data yang benar kita tidak pernah surplus dalam masalah gula, itu informasi yang salah. Itu bisa dicek datanya,” kata Ari dalam konferensi pers di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2024).
Dalam kasus ini, Tom Lembong disebut memberikan izin impor gula kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Padahal, kata Ari, sudah ada surat menyurat dari kepada PT PPI dari menteri sebelumnya yang dilanjutkan menjadi kebijakan impor di era Tom.
“Jadi menteri sebelumnya sudah ada surat menyurat dengan PPI ketika pak Tom masuk, PPI menindaklanjuti surat tersebut dan dijawab oleh pak Tom. Jadi lanjutan kebijakan tersebut. Jadi kalau kaitannya hanya sebatas itu konstruksinya kita sangat sayangkan,” katanya.
Atas hal tersebut, Ari mempertanyakan pertimbangan Kejagung menetapkan tersangka dan menahan Tom lembong. Ia ingin Kejagung menjelaskan lebih lanjut tindakan melawan hukum apa yang dilakukan kliennya.
“Kita pingin itu melihat bahwa perbuatan melawan hukunya itu di mana, apa ada kepentingan Pak Tom di sana, salam kebijakan-kebijakan tersebut. Apakah ada imbas kepada Pak Tomnya? Apakah itu fee atau apa, yang sampai saat ini kita belum dapatkan itu,” ujarnya.
Duduk Perkara
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
(ial/eva)