Jakarta –
Proses hukum Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe, Sulawesi Tenggara menjadi sorotan publik. Ia didakwa menganiaya muridnya yang merupakan anak polisi. Kasus ini memunculkan isu mengenai sejauh mana batas pendisiplinan murid dan penganiayaan anak. Muncul pula dorongan untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Guru.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, dalam kunjungan kerja di Palembang pada 1 November 2024, menegaskan bahwa perlindungan guru sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan menteri. Namun, ia menyoroti bahwa pelaksanaan dan penegakannya masih menjadi tantangan. Sebagai solusi jangka pendek, ia menyarankan peningkatan kemampuan guru dalam bimbingan konseling, pendidikan nilai, dan penguatan kerja sama dengan sekolah, masyarakat, serta orang tua.
Wapres Gibran Rakabuming Raka juga memberikan perhatian khusus pada masalah kriminalisasi guru. Dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan bersama para Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia pada 11 November 2024, Gibran menyerukan penghentian kriminalisasi guru, peninjauan kembali Undang-Undang Perlindungan Anak, dan percepatan pembahasan Undang-Undang Perlindungan Guru.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY. Esti Wijayati berpendapat senada dengan Mendikdasmen. Menurutnya undang-undang baru belum perlu dibuat, sebab perlindungan guru sudah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang ada.
“Undang-undangnya sudah ada kok, peraturan menterinya juga sudah ada terkait dengan perlindungan terhadap guru di dalam mengerjakan melaksanakan tugasnya. Yang terpenting adalah kesadaran orang tua dan kesadaran masyarakat secara bersama-sama bahwa cara mendidik anak kita ini berpengaruh kepada masa depan anak tersebut dan bagaimana masa depan bangsa ini,” ujar Esti di program Sudut Pandang detikcom (18/11/2024).
Perlindungan guru memang telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Perlindungan bagi guru diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 40, yang menegaskan hak guru untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugas dan memenuhi hak profesinya.
Sedangkan Peraturan Menteri yang berlaku adalah Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017. Dalam peraturan ini, perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan tertera secara lebih rinci, mencakup definisi, bentuk, mekanisme, hingga pihak-pihak yang wajib berperan dalam perlindungan guru.
Di sisi lain, pengamat pendidikan Doni Koesoema A menyatakan perlunya undang-undang baru yang melindungi guru. Ia menyoroti bahwa dalam kasus tuduhan kekerasan oleh guru, sering terjadi perbedaan persepsi antara murid, orang tua, dan guru. Menurutnya, terdapat ketimpangan antara Undang-Undang tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Sebenarnya secara akal sehat, kita bisa tahu, seorang guru itu melakukan tindakan kejahatan kriminal atau tidak. Tidak adil kalau misalkan guru melakukan pendisiplinan lalu masuk ranah Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi ketika guru mendisiplinkan, undang-undang perlindungan guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang menjadi salah satu pasalnya, tidak bisa berfungsi di situ,” jelas Doni.
“Kalau ada Undang-Undang Perlindungan Anak, di mana guru selalu dikriminalisasi atas Undang-Undang Perlindungan Anak, maka harus ada undang-undang yang melindungi guru,” tambahnya.
Meski tidak menyarankan teguran fisik, pemerhati anak dan Ketua Dewan Pakar Federasi Guru Indonesia, Retno Listyarti menyayangkan adanya kriminalisasi guru karena tindakan pendisiplinan. Ia berpendapat bahwa semestinya hal ini bisa diatasi oleh Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah, serta Satuan Tugas di setiap Pemerintah Daerah yang merupakan amanat dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023.
“Sebenarnya harusnya nggak perlu ya sampai ke kepolisian kalau kasus Ibu yang di Konawe ini. Nah ini akhirnya sudah jadi masalahnya orang-orang dewasa, gitu ya. Tidak lagi menjadi (masalah) anak-anak. Anak ini masih kecil, bukan keputusan dia melakukan semua gugatan ini. Dan masa depan dia masih panjang. Dan ini pasti anak berdampak juga,” ujar Retno.
Pada 15 November 2024, Pengadilan Negeri Andoolo menggelar sidang lanjutan kasusnya. Jaksa Penuntut Umum menolak nota pembelaan Supriyani. Jaksa menyatakan Supriyani terbukti melakukan pemukulan terhadap korban, tetapi tanpa niat jahat untuk menganiaya. Tindakan tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya mendidik siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Jaksa mengajukan tuntutan agar Supriyani dibebaskan.
(nel/ppy)