Jakarta –
Masjid Istiqlal dan Institut Leimena menggelar webinar internasional seri literasi keagamaan lintas budaya. Acara ini membahas tentang moderasi beragama hingga cara mencegah ujaran kebencian lintas agama di media sosial.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jacklevyn Frits Manuputty mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mendukung moderasi beragama di Indonesia. Dia mengatakan peran itu bisa dilakukan oleh basis-basis di masyarakat dengan kearifan lokal yang dimiliki.
“Di basis-basis di masyarakat dalam kaitan dalam relasi antarumut, antaretnis dan lain-lain, saya telah beberapa katakan tadi, kita punya modal-modal sosial, kearifan lokal yang harus kita berdayakan, yang harus kita pakai,” kata Jacklevyn dalam webinar ‘Deklarasi Istiqlal: Kolaborasi Umat Beragama untuk Kemanusiaan’, Selasa (19/11/2024).
Dia kemudian mencontohkan terkait mengatasi masalah sampah hingga penggundulan hutan. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan oleh semua kelompok di masyarakat tanpa harus memandang suku dan agama.
“Kita punya masalah dengan sampah di mana-mana, kita punya masalah dengan penggundulan hutan dan lain-lain, konkretnya dalam agama bisa saling menginisiasi sebuah tindakan kerja sama untuk bergerak bersama, pembersihan sampah misalnya, jadi tidak bergerak sendiri-sendiri, sehingga kita dapat berhubungan sebagai manusia, kita membangun persahabatan bersama untuk ke aksi yang lain,” tutur dia.
Webinar ini juga membahas tentang cara mengatasi ujaran kebencian terkait agama di media sosial. Guru Besar Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Inayah Rohmaniyah, memberikan berbagai cara untuk mengatasi hal ini.
“Kita harus memulai dari diri kita, saya selalu mengatakan jangan selalu menunjukkan tangan ke orang lain, jangan berharap orang lain akan memulai sementara kita diam. Perubahan akan terjadi ketika kita sendiri menempatkan kita sebagai agent of change sebagai yang aktif, karena masing-masing punya peran,” tutur Inayah.
“Maka gunakanlah power kita, ruang kita untuk ikut creating, untuk menciptakan kehidupan yang harmonis itu, menyebarkan nilai-nilai itu dan harus masuk ke ruang digital,” imbuhnya.
Inayah mengajak semua pihak yang memiliki pengaruh untuk memberikan literasi kepada generasi muda. Inayah pun telah membuat konten di media sosial agar generasi muda agar mereka bisa berbuat untuk menjadi lebih baik.
“Saya juga punya konten yang mencoba berbicara yang masuk ke dunia milenial, ke gen z agar mereka menangkap ide-ide yang kita inginkan sehingga kita ikut membentuk masa depan anak-anak kita, karena kalau kita tidak masuk ke dunia digital kita akan banyak kehilangan,” jelasnya.
Sementara itu, Senior Fellow Comparative Religion di Jackson School of International Studies, University of Washington, Chris Seiple, juga memberikan pandangannya terkait moderasi beragama di Indonesia. Menurutnya, moderasi beragama di Indonesia sudah terlihat sejak dilakukan Sumpah Pemuda.
“Jadi memang perbedaan di Indonesia juga dibandingkan dengan tempat lain adalah bahwa memang Indonesia punya sejarah yang khas khususnya dengan sejarah 28 Oktober 1928 yaitu Sumpah Pemuda, itu adalah acara berubah dengan tidak berubah, bahwa Indonesia terus harus membentuk masa depan bangsanya sendiri, jadi memang Sumpah Pemuda ini adalah peristiwa historis di mana kelompok pemuda datang berbagai daerah, latar belakang di era kolonial untuk mewujudkan satu deklarasi, satu sumpah bersama,” kata Chris.
Sumpah Pemuda itu, kata Chris, menjadi elemen penting bagi Indonesia. Dia mengatakan Indonesia tidak terlepas dari sejarahnya.
“Dan ini adalah dimensi yang sangat penting dari kebangsaan Indonesia. Kita lihat bahwa semua tempat di dunia, khsusunya konteks lokal di Indonesia termasuk demikian, memang punya sejarahnya sendiri,” jelasnya.
Chris menambahkan peristiwa masa lalu bisa dijadikan cara untuk menggerakkan masa depan. Dia mengatakan ajaran agama juga bisa dilakukan untuk melakukan kerja sama.
“Dan ada suatu peristiwa di masa lalu yang mungkin menggerakkan masa depan di suatu daerah, misalnya kisah atau cerita, bagaimana ajaran agama memberikan alat untuk kerja sama, dan setiap tradisi juga punya keyaninannya masing-masing,” pungkasnya.
(lir/jbr)