Koalisi Anti-Kekerasan Berbasis Gender terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP) melaporkan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta ke Komisi Yudisial (KY). Keduanya dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dalam persidangan kasus AG di kasus penganiayaan David Ozora.
Peneliti dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Aisyah Assyifa, yang merupakan perwakilan dari Koalisi AG-AP meminta KY segera memeriksa kedua hakim tersebut. Menurutnya, perilaku kedua hakim tersebut dapat menjadi contoh buruk terhadap proses peradilan kelompok rentan seperti anak perempuan.
“Kami meminta Komisi Yudisial (KY) dan Bawas MA untuk segera memeriksa kedua hakim tersebut,” kata Aisyah kepada wartawan di Komisi Yudisial (KY), Kamis (25/5/2023).
Aisyah menduga hakim tunggal PN Jaksel Sri Wahyuni Batubara tidak berimbang dalam melakukan pemeriksaan. Disebutkan bahwa hakim tunggal tersebut menolak memutarkan rekaman video CCTV di ruang sidang yang memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh hakim dalam putusan
“Hakim tunggal (PN Jaksel) tidak melakukan pemeriksaan secara berimbang, di mana hakim menolak untuk memutarkan video CCTV di ruang sidang, video CCTV tersebut memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh hakim dalam putusan,” sebutnya.
Selain itu, Aisyah menilai hakim tunggal PN Jaksel tidak memberikan keputusan berdasarkan fakta di persidangan. Dan juga Sri Wahyuni dinilai tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum terkait latar belakang seksual Anak.
“Hakim tunggal tidak mempertimbangkan fakta yang menunjukkan bahwa anak berhubungan seksual dengan orang dewasa sebanyak lima kali, hal yang merupakan perbuatan pidana berdasarkan UU TPKS,” sebutnya.
“Kami menilai hakim tunggal tidak mempertimbangkan kerentanan posisi anak pelaku AG,” tambahnya.
Aisyah juga menilai hakim tunggal PN Jaksel tidak melihat laporan penelitian kemasyarakatan yang wajib dalam UU SPPA. Putusan hakim tersebut pun dianggap berdasarkan keinginan menghukum anak.
“Bahwa putusan hakim kami duga berdasarkan pada keinginan untuk menghukum anak, tidak untuk kepentingan terbaik anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA,” ucapnya.
Simak halaman selanjutnya.