Kilang Pertamina Unit Cilacap telah melakukan lifting atau pengiriman perdana produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau avtur berbahan baku campuran Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah.
Proses produksi dilakukan dengan teknologi Co-Processing UCO yaitu menggunakan Katalis Merah Putih, yang merupakan hasil formulasi dan produksi dalam negeri.
Produk Pertamina SAF juga telah memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091. Pencapaian ini menjadikan Pertamina SAF sebagai produk SAF pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang bersertifikat resmi.
Untuk tahap awal, kapasitas produksi ditargetkan sebesar 9 metric barrel dengan komposisi 2?”3 persen UCO. Produksi Pertamina SAF berbahan baku ini juga menjadi kelanjutan cerita sukses KPI dalam memproduksi bahan bakar pesawat ramah lingkungan.
Sebelumnya KPI telah membuktikan kemampuannya dalam memproduksi Pertamina SAF berbahan baku Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit.
SAF berbasis RBDKO ini telah diproduksi dan digunakan pada uji terbang yang dilakukan pada tahun 2021 dan 2023. Uji terbang pada tahun 2023 dilakukan dengan menggandeng maskapai penerbangan komersil Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Solo pulang pergi.
Beragam strategi yang dijalankan KPI tidak hanya mempercepat transisi energi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan upaya hilirisasi telah dilakukan Kilang Pertamina sebelum terbit aturan hilirisasi. Saat ini, tren global menunjukkan bisnis kilang mengalami pertumbuhan.
“Sebelum ada regulasi hilirisasi, teman-teman di Kilang Pertamina sudah melakukannya. Fakta dan data di internasional saat ini justru kapasitas kilang bertambah, hanya produknya geser ke petrokimia,” kata Komaidi dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Kamis, 20 November 2025.
Menurut dia, di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, produk kilang masih BBM. Kalau melihat tren tersebut, bisnis kilang akan terus ada dan tidak akan selesai.
“Artinya, mereka masih bisa switching dari produk BBM ke petrokimia,” tegasnya.
Komaidi mengakui kompleksitas pengembangan kilang cukup tinggi, di samping pula memerlukan investasi besar. Ia menjelaskan kompleksitas pembangunan kilang bisa mencapai 10-15 kali lipat lebih tinggi dibandingkan industri manufaktur.
Berdasarkan Nelson Complexity Index (NCI), indeks yang digunakan untuk mengukur kompleksitas kilang minyak bumi, Kilang Pertamina Unit Cilacap terbesar di antara yang lainnya.
Komaidi mengungkapkan membangun kilang itu kompleksitasnya tinggi dan investasinya besar. NCI semakin besar maka semakin fleksibel.
“Di Cilacap yang terbesar. Di global terbesar itu kapasitas kilang di India, NCI sampai 14, satu unit bisa produksi 1,4 juta barel per hari,” pungkasnya.

