Ragunan bukan sekadar ikon wisata keluarga di Jakarta. Ragunan adalah lembaga konservasi yang memegang mandat moral, ekologis, dan ilmiah. Karena itu, kondisi satwa di dalamnya bukan hanya urusan internal, tetapi menyangkut standar peradaban kota ini dalam memperlakukan makhluk hidup.
Laporan tersebut menegaskan satu hal yang selama ini sering ditutup-tutupi oleh retorika pembangunan: banyak kandang di Ragunan sudah tidak layak bagi kesejahteraan satwa masa kini.
Beberapa hewan — mulai dari trenggiling, landak, beruang madu, hingga harimau sumatera — terjebak dalam ruang yang terlalu sempit dan miskin stimulasi. Enrichment yang seharusnya menjadi unsur vital untuk mencegah kebosanan, mengurangi stres, dan menstimulasi naluri alami, tampak absen atau sangat minim.
Dalam dunia konservasi modern, ini bukan persoalan sepele. Kandang sempit tanpa stimulasi sama saja dengan menyabotase kesejahteraan mental satwa. Perilaku circling yang teramati pada beberapa satwa merupakan salah satu gejala paling gamblang dari zoo stress, sebuah bentuk penderitaan akibat frustrasi jangka panjang. Satwa bergerak repetitif bukan karena “kebiasaan”, tetapi karena kondisi psikologis yang tertekan dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Dan fakta bahwa penyebab utamanya bukan SDM, tetapi infrastruktur yang usang, menunjukkan akar persoalan ada pada kebijakan dan prioritas anggaran. Ragunan yang sudah berdiri lebih dari satu abad memerlukan restrukturisasi fisik besar-besaran, bukan tambal sulam kecil-kecilan yang dilakukan selama ini.
Kandang-kandang era 1970–1980 tidak lagi kompatibel dengan prinsip konservasi abad ke-21. Kebun binatang dunia kini berpindah dari sekadar “memajang satwa” ke paradigma habitat-based zoo, di mana ruang jelajah diperluas, lingkungan dirancang menyerupai habitat asli, dan satwa dilibatkan dalam aktivitas harian yang menstimulasi naluri alaminya.
Pertanyaannya: mengapa transformasi seperti itu tak kunjung terjadi di Ragunan?
Jawabannya menyentuh persoalan yang lebih struktural. Investasi pada infrastruktur konservasi selama bertahun-tahun tidak menjadi prioritas pemerintah daerah.
Ragunan masih diperlakukan sebagai fasilitas wisata murah meriah, bukan pusat konservasi dengan standar ilmiah. Ketika tarif masuk dipatok sangat rendah, konsekuensi logisnya adalah minimnya kemampuan investasi jangka panjang. Cheap ticket, cheap development. Harga yang dibayar? Satwa yang hidup dalam tekanan dan habitat yang tidak berkembang.
Sudah saatnya kita bicara jujur: Jakarta membutuhkan kebun binatang baru dengan standar baru, atau pembaruan total Ragunan hingga fondasi paling dalam. Bukan sekadar renovasi pagar dan pengecatan, tetapi re-desain habitat, perluasan ruang jelajah, pembangunan fasilitas enrichment center, hingga peningkatan anggaran pakan berkualitas dan kesehatan satwa.
Modernisasi Ragunan bukan proyek estetika — ini adalah mandat etis. Sebuah kota megapolitan yang mengklaim diri modern tidak bisa membiarkan satwa endemik seperti harimau sumatera dan beruang madu hidup dalam tekanan psikologis karena fasilitas konservasinya tertinggal puluhan tahun.
Temuan Animal Defenders Indonesia harus menjadi momentum koreksi total. Jika kebun binatang modern di Eropa dan Asia bisa menjadi pusat riset, rehabilitasi, dan edukasi, Jakarta seharusnya mampu melakukan hal yang sama. Kesejahteraan satwa adalah ukuran moralitas publik. Dan hari ini, melalui kondisi Ragunan, ukuran itu tampak menurun.
Saatnya DKI Jakarta memilih: melanjutkan pola lama yang membiarkan satwa hidup dalam “museum hidup”, atau melakukan lompatan modernisasi yang menjadikan Ragunan benar-benar layak disebut lembaga konservasi. Kota ini tidak kekurangan sumber daya — yang kurang adalah keberanian untuk memprioritaskan mereka yang tidak bisa bersuara.
Mereka yang ada di balik jeruji kandang itu menunggu keputusan kita.
Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute

