Pertama, “Wetmatigheid”. Saat belajar hukum Administrasi Negara, ada beberapa istilah asing yang sering digunakan hingga sekarang. Salah satunya adalah berkaitan dengan asas legalitas. Di dalam hukum pidana khususnya, kita seringkali dibuka dengan kalimat asas legalitas. Ini menunjukan bahwa posisi subyek dalam hukum tidak dapat dipandang remeh, karena itu harus dilindungi martabatnya. Dalam hukum pidana, asas legalitas ini berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”. Artinya, seseorang hanya dapat dihukum jika sudah ada aturan yang mengaturnya.
Dalam hukum administrasi Negara, dikenal juga asas legalitas. Asas ini dikenal dengan istilah Wetmatigheid, atau dalam kalimat yang lebih panjang, disebut dengan “wetmatigheid van het berstuur”. Kalimat pendek ini mengandung arti, bahwa “setiap tindakan pemerintahan itu harus memiliki dasar hukum”. Prinsip ini menunjukkan perlunya kehati-hatian pemerintah dalam mengambil tindakan, sebab beresiko melanggar peraturan perundang-undangan jika tidak dibarengi dengan kehati-hatian.
Wetmatigheid ini fokus pada tindakan yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dengan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan ini memuat alasan yang dapat digunakan dalam melakukan gugatan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat TUN, dimana salah satu alasannya adalah bahwa: “Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk memperkuat hal ini, ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga menegaskan: “Badan atau Pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Atas dasar itu, konstruksi berpikir prinsip Wetmatigheid adalah bahwa keputusan dan/atau tindakan pemerintah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak demikian, maka dapat menyebabkan tindakan dan atau keputusan tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.
Kedua, Rechtmatigheid. Pada Wetmatigheid, aspek yang menonjol diperhatikan adalah apakah bestuurhandlingen atau tindakan pemerintah itu sudah sesuai dengan peraturan perundan-undangan atau tidak. Sedangkan pada Rechtmatigheid, cakupannya lebih luas.
Menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981), agar keputusan yang dibuat menjadi keputusan yang sah ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat materiil dan formil. Ada empat syarat materiil sahnya keputusan antara lain: (a) alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak); (b) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de welsvorming); (c) keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembentukannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig); (d) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig).
Sedangkan syarat formil sahnya suatu keputusan meliputi: (a) syarat-syarat ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhinya; (b) harus diberi bentuk yang telah ditentukan; (c) syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan terpenuhi; (d) jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Dalam konteks ini, banyak aspek yang harus diperhatikan dalam merumuskan aspek Rechtmatigheid. Di mana aspek-aspek ini berkaitan dengan dasar hukum, kewenangan, isi, prosedur dan tujuan keputusan dan/atau tindakan pemerintah. Hal ini berbeda dengan aspek Wetmatigheid yang fokus pada asas legalitas, maka pada rechtmatigheid seluruh anasir yang berpengaruh terhadap keputusan dan/atau tindakan pemerintah harus dilihat secara holistik.
Ketiga, Doelmatigheid. Prinsip ini mengikat pemerintah bahwa bestuurhandlingen atau tindakan pemerintah harus melihat tujuan yang hendak dicapai. Meskipun dicakup juga oleh prinsip rechtmatigheid, eksistensi doelmatigheid justru harus dilihat secara sendiri, karena mencakup aspek yang lebih inti dan substantif dari sebuah tindakan dan/atau keputusan yang di ambil oleh pemerintah. Dalam Konteks ini pula, keputusan dan/atau tindakan pemerintah perlu dilihat hubungan kausalitasnya, antara keputusan dengan akibat yang ditimbulkan.
Doelmatigheid berkaitan dengan aspek kebijaksanaan subyek pemerintah dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Aspek ini berhubungan pula dengan pertanyaan, “untuk apa keputusan dan/atau tindakan dilakukan?”. Sebab tujuan umum pemerintahan adalah untuk “kesejahteraan rakyat”, maka penting untuk mengetahui tujuan suatu keputusan dan/atau tindakan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah untuk mengukur tujuan tindakan dilihat dari aspek niatnya?. Tentu ini pertanyaan yang perlu dijawab secara filosofis. Sebab dalam hukum pidana, untuk mengukur suatu tindak pidana, harus dilihat “niat” (mens rea) dan “tindakannya” (actus reus). Jika ada hubungan kausal antara niat dan tindakan, maka terpenuhi suatu tindak pidana.
Pertanyaan penting adalah bagaimana mengukur “niat” pejabat pemerintahan saat dia mengambil keputusan dan/atau tindakan. Dan apa alat ukur tujuan yang hendak dicapai oleh suatu keputusan dan/atau tindakan pemerintahan. Wallahu a’lam bishowab.
Fajlurrahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

