Menurut analisis dari Ashmore Asset Management Indonesia, ada pergerakan kontras yang patut dicermati sepanjang pekan.
Di pasar domestik, sektor Properti & Real Estate serta Consumer Cyclicals menjadi bintang dengan lonjakan masing-masing di atas 3,8 persen, sementara sektor Basic Materials dan Transportation & Logistics justru melemah. Dari sisi komoditas, CPO dan Batu bara unggul, namun aset berisiko tinggi seperti Bitcoin dan Indeks Hang Seng mengalami koreksi tajam.
Di tengah gejolak global, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah konservatif dengan menahan suku bunga acuan di 4,75 persen, sebuah keputusan yang sejalan dengan ekspektasi pasar. Fokus utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan mengawal transmisi penurunan suku bunga ke suku bunga kredit perbankan yang berjalan lambat.
Ashmore menilai jeda ini bukan akhir dari siklus pelonggaran, melainkan upaya hati-hati BI di tengah dinamika pasar global.
Sementara itu, Amerika Serikat menjadi sumber ketidakpastian. Meskipun laporan kinerja perusahaan teknologi besar sempat mendorong pasar saham, data ekonomi yang dirilis justru saling bertentangan. Tingkat pengangguran naik, tetapi jumlah penciptaan lapangan kerja (`Non-Farm Payrolls`) mencatat pertumbuhan terkuat dalam lima bulan.
Data yang ambigu ini memicu volatilitas, menekan sentimen investor, dan menggeser ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed di bulan mendatang.
Lantas, bagaimana pandangan ke depan? Ashmore menyimpulkan bahwa, meskipun pasar global bergejolak, pandangan jangka menengah tetap optimistis. Mereka meyakini siklus pemangkasan suku bunga akan berlanjut, baik oleh BI maupun bank sentral global, yang secara strategis mendukung instrumen obligasi berdurasi panjang.
Selain itu, saham Indonesia masih dianggap menarik, didukung oleh kembalinya arus dana asing, sehingga Ashmore merekomendasikan tetap selektif pada saham-saham berkualitas di tengah peningkatan selera risiko terhadap emerging market.

