Di usianya yang baru 8 tahun, Hafithar menempuh perjalanan sekitar 70 kilometer pulang-pergi dari tempat tinggalnya di Tangerang menuju sekolahnya di Klender, Jakarta Timur.
Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, perjuangan seorang bocah untuk tetap bersekolah ini memantik gelombang simpati sekaligus keprihatinan dari warganet.
Banyak yang terharu oleh keteguhan hatinya, namun tak sedikit pula yang bertanya: mengapa anak sekecil itu harus berjuang sejauh ini demi pendidikan? Di mana orang tuanya? Apa respons sekolah?
Kepala Pelaksana Pendidikan Duren Sawit, Jakarta Timur, Farida Farhah, turun tangan memberi perhatian khusus. Setelah menggali informasi dan mendapatkan kronologi utuh, ia menyebut bahwa persoalan sebenarnya lebih kompleks dari apa yang terlihat.
“Hafithar ini anak bungsu dari lima bersaudara. Tadinya ia bersama ibunya, Ida Lamtiur (48), tinggal di Kampung Sumur, Jakarta Timur,” jelas Farida saat ditemui RMOL di lokasi sekolah, Senin, 24 November 2025.
Ayahnya, Didin, telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu. Sementara sang ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Pada awal September, ibunda Hafithar pindah pekerjaan ke Tangerang dan membawa sang anak. Namun beberapa waktu lalu, ia kembali pindah kerja ke Parung, Bogor.
Sang ibu sebenarnya telah merencanakan Hafithar untuk pindah ke SD negeri di dekat tempat tinggalnya di Parung. Rencananya, Hafithar akan mulai bersekolah di tempat baru pada awal tahun depan. Kepindahan direncanakan dilakukan setelah pembagian rapor semester 1 pada 19 Desember 2025.
Meski begitu, sebelum kepindahan itu terjadi, Hafithar tetap ingin bersekolah di tempat lamanya. Itu sebabnya ia masih naik KRL setiap hari.
“Jadi selama naik KRL awalnya ibunya ikut mengantar. Namun karena kesibukan akhirnya Hafithar mulai berangkat sendiri. Tapi ibunya sebelumnya sudah menitip Hafithar ke petugas stasiun dan menyelipkan nomor telepon untuk keadaan tertentu,” tambah Farida.
Kisah Hafithar pertama kali diunggah oleh pemilik akun TikTok Muji Sambo, yang merekam bocah itu saat menunggu Commuter Line di Stasiun Tanah Abang.
Di sekolah, wali kelas Hafithar, Iin Inayati, turut meluruskan berbagai informasi yang beredar. Ia menegaskan bahwa sekolah sejak awal sangat peduli dan menawarkan berbagai opsi yang aman untuk Hafithar.
“Secara akademik anaknya pintar, tanggap, ceria. Dia sayang sama teman dan gurunya,” kata Iin.
Iin menyampaikan, keputusan akhir tetap berada di tangan orang tua. Apakah Hafithar akan dimutasi ke sekolah baru, atau tinggal sementara dengan kerabat di Jakarta.
Beberapa alternatif sudah dibahas, misalnya menitipkan Hafithar di rumah teman sekolahnya selama masa transisi.
Ada pula kemungkinan ibu Hafithar kembali bekerja di Jakarta sehingga Hafithar tetap bersekolah di SDN Klender 04.
Plt Kepala Sekolah, Dwiyanti Lestari, mengatakan pihak sekolah terus mengupayakan yang terbaik bagi tumbuh kembang Hafithar. Untuk saat ini, solusi sementara sudah dijalankan.
“Kalau naik kereta dia harus berangkat jam 3. Jadi sekarang tinggal di rumah kawannya,” jelasnya.
Hafithar disebut sebagai anak yang bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki empati tinggi.
“Dia senang sekali sekarang ada MBG (Makan Bergizi Gratis). Dia juga kadang bawa pulang makanannya buat ibunya. Pihak sekolah terus beri dukungan,” tutur Dwiyanti.
Pihak Dinas Pendidikan dan Pemprov DKI juga telah menghubungi sekolah dan menyiapkan beberapa opsi. Namun keputusan tetap berada pada orang tua.
“Kami juga akan membantu agar Hafithar mendapat fasilitas pendidikan termasuk Kartu Jakarta Pintar (KJP),” ujar Dwi.
Kisah Hafithar adalah potret kecil tentang tekad, kasih sayang keluarga, dan peran sekolah. Yang dibutuhkan sekarang bukan saling menyalahkan, melainkan saling mendukung dan menguatkan agar setiap anak mendapat kesempatan belajar. Langkah Hafithar ke sekolah harus menjadi motivasi menuju masa depan yang lebih layak dan penuh kasih.

