Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Morgan Rogers Hepi Bantu Aston Villa Kalahkan Leeds United

    November 24, 2025

    Sinkronisasi Aturan Pidana untuk Hindari Kekacauan Hukum

    November 24, 2025

    Pesan Kapolri di Apel Kasatwil: Harus Lebih Responsif dan Dekat dengan Masyarakat! : Okezone News

    November 24, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Polisi Pernah Ikut Pemilu 1955

    Polisi Pernah Ikut Pemilu 1955

    PewartaIDBy PewartaIDNovember 24, 2025No Comments4 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email




    Pada Pemilu 1955, polisi tidak hanya terlibat secara informal, tetapi benar-benar memiliki partai politik sendiri: Partai Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI). Episode sejarah ini jarang dibahas, namun penting untuk memahami bagaimana perdebatan tentang posisi ideal polisi dalam negara demokrasi terbentuk sejak awal kemerdekaan.


    Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian menggambarkan masa awal republik sebagai periode ketika identitas polisi masih kabur. Polisi belum sepenuhnya menjadi aparat sipil, namun juga bukan bagian yang solid dari militer. 

    Ketidakjelasan ini membuat sebagian besar anggota kepolisian merasa perlu memperjuangkan posisi mereka di tengah tarik-menarik kekuasaan antara sipil dan militer. 



    Dalam suasana itu, P3RI lahir sebagai wadah untuk mempertegas kepentingan korps. Bagi sebagian polisi, berpolitik justru dianggap jalan untuk memastikan masa depan institusi mereka tidak ditentukan oleh pihak lain.

    Gagasan politik P3RI ini semakin terlihat radikal ketika kita membaca analisis Daniel S. Lev dalam Legal Evolution and Political Authority in Indonesia. Lev mencatat bahwa P3RI membawa tuntutan besar: pembentukan “Kementerian Kepolisian” yang independen. 

    Tuntutan itu menunjukkan bahwa P3RI tidak sekadar mengikuti pemilu demi posisi politik, tetapi ingin mengubah struktur negara agar polisi berdiri sejajar dengan kementerian lain. 

    Dari sudut pandang Lev, ambisi ini mencerminkan kegelisahan struktural dalam tubuh kepolisian—mereka ingin mandat yang jelas dan ruang otoritas yang stabil di tengah negara yang masih mencari bentuk.

    Analisis para pengamat lain menguatkan gambaran tersebut. Petrik Matanasi, sejarawan yang banyak menulis tentang kepolisian, menekankan bahwa polisi pada masa itu “berpolitik secara terang-terangan.” 

    Dalam ulasannya di Historia, ia menempatkan P3RI sebagai bukti bahwa di era 1950-an, batas antara aparat keamanan dan politik elektoral jauh lebih longgar dibandingkan sekarang. 

    Ini memperlihatkan bahwa netralitas polisi sebenarnya bukan prinsip yang sudah ada sejak awal, melainkan hasil perkembangan panjang institusional.

    Bambang Yuniarto, dalam kajiannya mengenai kedudukan polisi dalam sistem politik Indonesia, juga melihat periode ini sebagai masa ketika polisi berada “di dua ujung tanduk”: harus menegakkan hukum, tetapi sekaligus berusaha mengamankan posisi politik institusionalnya. 

    Pemikiran Yuniarto membantu memahami bahwa munculnya P3RI bukan sekadar ambisi politik, tetapi ekspresi pencarian bentuk kelembagaan bagi polisi di negara yang baru merdeka.

    Di sisi lain, Parsudi Suparlan — melalui Bunga Rampai Ilmu Kepolisian — menempatkan fenomena seperti P3RI sebagai bagian dari proses panjang profesionalisasi dan legitimasi polisi. 

    Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa polisi selalu berada di antara tuntutan sosial, politik, dan hukum. Dengan sudut pandang ini, keterlibatan P3RI dapat dilihat bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi dari dinamika pembentukan institusi modern.

    Konteks yang lebih luas juga diulas oleh Yahya A. Muhaimin dalam kajiannya mengenai peran militer dan keamanan dalam politik Indonesia awal. Ia menekankan bahwa pada masa itu, aktor keamanan — baik militer maupun polisi — memiliki peran politik inheren dalam pembentukan negara. Melihatnya dari perspektif ini, P3RI dapat dipahami sebagai bagian dari pergulatan negara muda yang struktur politiknya belum mapan.

    Namun, semua ambisi itu pada akhirnya terbentur realitas demokrasi. P3RI ikut Pemilu 1955 tetapi tidak memperoleh suara berarti. Rakyat lebih memilih partai-partai besar yang membawa gagasan ideologis luas, bukan partai korps birokrasi. Kegagalan itu bukan hanya menutup perjalanan P3RI, tetapi juga menjadi batas tegas bahwa politik elektoral bukanlah ruang yang tepat bagi institusi penegak hukum.

    Meski singkat, pengalaman P3RI memberikan pelajaran besar. Pertama, sejarah menunjukkan bahwa ketika polisi masuk terlalu jauh ke gelanggang politik, kepercayaan publik dan integritas institusi berada dalam risiko serius. 

    Kebingungan antara kepentingan publik dan kepentingan korps dapat menimbulkan kecurigaan yang merusak legitimasi polisi. Kedua, aspirasi untuk memiliki posisi yang jelas dalam struktur negara tidak harus ditempuh melalui politik praktis. 

    Reformasi institusional, seperti yang terjadi setelah 1998 dengan pemisahan Polri dari TNI dan penetapan polisi sebagai institusi sipil, terbukti jauh lebih efektif untuk memperkuat profesionalisme.

    Pengalaman P3RI juga memberi peringatan relevan untuk masa kini, ketika isu politisasi aparat keamanan kembali muncul dari waktu ke waktu. 

    Sejarah menunjukkan bahwa netralitas Polri bukan hanya norma hukum, tetapi syarat dasar bagi keberlangsungan demokrasi. Indonesia pernah mencoba membiarkan polisi masuk ke politik, dan hasilnya membawa lebih banyak kebingungan daripada solusi.

    Dengan memahami sejarah ini, kita diingatkan bahwa demokrasi hanya dapat berjalan sehat bila aparat hukum menjaga jarak yang jelas dari persaingan politik. P3RI adalah bab penting dalam perjalanan itu—bab yang seharusnya kita baca bukan untuk diulang, tetapi untuk memastikan kesalahan serupa tidak terjadi lagi.

    Agung Nugroho
    Direktur Jakarta Institute





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Sinkronisasi Aturan Pidana untuk Hindari Kekacauan Hukum

    November 24, 2025

    Gibran Tiba di Tanah Air Usai Tuntaskan Agenda KTT G20 Afsel

    November 24, 2025

    Gus Ipul Beber Alasan PBNU Copot Charles Holland Penasihat Gus Yahya

    November 24, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Morgan Rogers Hepi Bantu Aston Villa Kalahkan Leeds United

    Berita Olahraga November 24, 2025

    Ligaolahraga.com -Berita Liga Inggris: Gelandang Aston Villa, Morgan Rogers, mengaku sangat bahagia bisa menjadi penentu…

    Sinkronisasi Aturan Pidana untuk Hindari Kekacauan Hukum

    November 24, 2025

    Pesan Kapolri di Apel Kasatwil: Harus Lebih Responsif dan Dekat dengan Masyarakat! : Okezone News

    November 24, 2025

    Jamie Carragher Minta Maaf, Eze Ternyata Pembelian Kunci Arsenal

    November 24, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Morgan Rogers Hepi Bantu Aston Villa Kalahkan Leeds United

    November 24, 2025

    Sinkronisasi Aturan Pidana untuk Hindari Kekacauan Hukum

    November 24, 2025

    Pesan Kapolri di Apel Kasatwil: Harus Lebih Responsif dan Dekat dengan Masyarakat! : Okezone News

    November 24, 2025

    Jamie Carragher Minta Maaf, Eze Ternyata Pembelian Kunci Arsenal

    November 24, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.