Jakarta –
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta agar pasal penodaan agama tidak diterapkan ke Panju Gumilang. Pasal itu diatur dalam pasal 156a KUHP. Apa alasannya?
“Langkah kepolisian memproses laporan dengan delik penodaan agama terhadap Panji Gumilang sangat disayangkan,” kata Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangannya, Kamis (6/7/2023).
“Karena mempidanakan pandangan dan amalan keagamaan yang berbeda adalah melanggar hak dan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan berkepercayaan,” sambung Muhammad Isnur.
Muhammad Isnur mengutip Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pola kriminalisasi terhadap terhadap pimpinan Al-Zaytun ini, menurut Muhammad Isnur, mirip dengan pola-pola kriminalisasi pada kasus-kasus penodaan agama sebelumnya.
“Mereka dihukum melalui proses pengadilan yang berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disertai dengan mobilisasi dan tekanan massa,” ungkap Muhammad Isnur.
Isnur mengkhawatirkan aparat pemerintah dan penegak hukum, baik di pusat maupun daerah, tidak melakukan pencegahan dan penegakan hukum secara adil dan optimal, sebagaimana terjadi dalam kasus kriminalisasi sebelumnya, ketika MUI sangat agresif dan massa diberikan tempat untuk mengintimidasi bahkan mengancam dengan kekerasan.
“Polisi harus menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, karena terus berulang merampas hak dan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi,” desak Isnur.
Sementara itu, SETARA Institute menyatakan penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai ‘peradilan’ oleh tekanan massa (trial by mob). Pasal-pasal penodaan agama adalah ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur dan tidak memberikan kepastian hukum. Padahal, pandangan dan ijtihad keagamaan Panji Gumilang adalah bentuk kebebasan beragama, berpendapat, dan berekspresi warga yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
“Kami menuntut pihak kepolisian untuk tidak tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, seperti MUI, yang memberikan fatwa (pendapat) tunggal dan tertutup atas pemahaman keagamaan Panji Gumilang,” tegas Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan.
(asp/isa)