Prediksi ini mengikuti perubahan skema pungutan ekspor yang resmi diberlakukan pada Oktober 2025.
Analis Ahli Madya Direktorat Strategi Penerimaan Negara Bukan Pajak DJSEF, Nurlaidi, menjelaskan bahwa harga kakao global saat ini masih bertahan pada level tinggi, di kisaran 5.000-6.000 Dolar AS per ton, jauh di atas ambang batas 3.500 Dolar AS.
Pada level harga ini, tarif Bea Keluar (BK) 7,5 persen serta Pungutan Ekspor (PE) 7,5 persen tetap berlaku sesuai ketentuan baru yang efektif sejak 22 Oktober 2025.
“Sampai September 2025, bea keluar sudah mencapai Rp 150 miliar. Setelah skema dipecah menjadi BK dan PE masing-masing 7,5 persen, pungutan ekspor per Oktober baru terkumpul Rp 48 juta,” ujar Nurlaidi, dalam Kunjungan Kerja Media Kontribusi Industri Kakao untuk APBN dan Perekonomian, dikutip Selasa 25 November 2025.
Ia menambahkan, tren penerimaan negara hingga akhir tahun diperkirakan tidak akan mengalami perubahan berarti. Dengan rata-rata penerimaan BK sekitar Rp10 miliar–Rp12 miliar setiap bulan, total BK sepanjang 2025 diproyeksikan berada di rentang Rp 190–200 miliar.
Di sisi lain, pungutan ekspor (PE) diprediksi hanya menyumbang sekitar Rp 70 juta sepanjang tahun.
“Totalnya tetap sekitar Rp 200 miliar. Secara postur APBN tidak berubah, karena hitungan tax ratio tetap sama,” paparnya.
Melihat tahun depan, ia menilai outlook penerimaan negara dari kakao juga tidak akan bergeser jika skema tarif tetap sama. Mulai Januari 2026, BK dan PE masing-masing 7,5 persen akan berlaku penuh sepanjang tahun.
Dengan asumsi harga kakao internasional masih berada di atas ambang batas 3.500 dollar AS, Nurlaidi menilai kinerja penerimaan negara dari komoditas tersebut pada 2026 akan serupa dengan tahun ini.
“Kalau harga tetap, penerimaannya ya sekitar Rp 200 miliar juga,” tandasnya.

