Dikatakan kontroversial karena kasus-kasus tersebut terkesan dipaksakan, bahwa para terdakwa dalam persidangan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan negara. Padahal, dalam kasus Tom Lembong dan Ira Puspadewi, tidak ada aliran dana sedikitpun yang mereka terima atau nikmati.
Namun pengadilan tetap bersikukuh, meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana korupsi, tetapi mereka dinilai memberikan keuntungan kepada orang lain sehingga negara dirugikan.
Dalam fenomena ini, respons cepat Prabowo yang menggunakan kewenangannya sebagai Presiden untuk memberikan keadilan bagi seseorang yang oleh masyarakat dianggap tidak bersalah, telah memicu debat publik dan memengaruhi dinamika politik hukum ketatanegaraan Indonesia dalam konteks Trias Politika yang dianut UUD 1945.
Saat ini masyarakat menganggap Presiden (eksekutif) sebagai pembawa keadilan, bukan lembaga yudikatif. Praktik ini membalikkan tradisi sistem hukum lama, di mana pencipta keadilan adalah hakim, bukan eksekutif.
Namun, meskipun terdapat polemik di masyarakat, apakah presiden bertindak terlalu jauh mengintervensi lembaga yudisial, pemberian keadilan tersebut tetap berada dalam kerangka konstitusional, sehingga secara yuridis tidak ada abuse of power di antara lembaga-lembaga negara.
Hak Konstitusional Presiden dalam Menciptakan Keadilan Hukum
Dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD 1945, secara tegas presiden diberi kewenangan oleh konstitusi dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA, dan presiden juga memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Dengan demikian, dalam UUD 1945, pembentuk keadilan hukum bukan hanya terletak di lembaga yudikatif, tetapi juga di eksekutif (Presiden). Hanya saja selama ini dalam praktik kenegaraan, presiden selalu dikenal sebagai pembentuk dan pelaksana undang-undang. Sedangkan, tempat pencarian keadilan berada di lembaga yudisial (peradilan).
Dalam negara hukum, sumber keadilan secara substantif tidak dipegang oleh satu lembaga negara, tetapi tersebar di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena negara itu pemilik kekuasaan formil, maka keadilan dimulai dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan oleh legislatif bersama eksekutif.
Sedangkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh eksekutif, dan jika dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan terdapat ketidakadilan yang dialami masyarakat, maka jalan mencari keadilan bermuara di lembaga yudikatif.
Sistem dan mekanisme ini dibangun menurut ajaran Trias Politika agar terdapat keseimbangan kekuasaan dalam menciptakan perlindungan hukum, keadilan, ketertiban sosial, dan kedamaian bagi setiap warga negara dan masyarakat.
Pada umumnya, presiden memberi amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, lebih banyak kepada kasus-kasus pidana politik atau yang mengancam keselamatan negara. Seperti di era Presiden Sukarno, yang pernah memberikan amnesti kepada para pemberontak DI/TII melalui Keppres Nomor 330 Tahun 1959 dan Keppres Nomor 449 Tahun 1961, dan pemberian abolisi kepada tokoh Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1964.
Demikian juga, di era Orde Baru, Presiden Suharto pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada pengikut Fretelin di Timor Timur melalui Keppres nomor 63 Tahun 1977.
Di era reformasi, Presiden B.J. Habibie pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada aktivis pro demokrasi Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan melalui Keppres 80/1998. Pemberian ini dapat dipahami karena memang persoalan perbedaan paham politik antara negara dengan sekelompok masyarakat menjadi wilayah kekuasaan presiden, di mana presiden memiliki sudut pandang dan kebijakan politik tersendiri terhadap lawan-lawan politiknya.
Sementara, jika dicermati pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi di era Presiden Prabowo agak berbeda. Mungkin hanya di kasusnya Hasto saja banyak orang menduga-duga ada unsur politisnya, ketimbang alasan hukum murni. Namun untuk kedua kasus lainnya, Tom Lembong dan Ira Puspadewi, lebih kepada pertimbangan keadilan hukum, jauh di luar alasan politis.
Pertimbangan utama presiden adalah selain figur yang diadili dikenal memiliki dedikasi dan rekam jejak yang baik, juga rasa keadilan masyarakat yang menganggap pemidanaan mereka di luar dari akal budi hukum.
Ketika hukum tidak lagi dipergunakan dengan batas-batas objektivitas, di luar dari nalar hukum yang benar, dan lebih banyak bernuansa subyektif para penegak hukum, maka presiden sebagai Kepala Negara memiliki peran untuk mengoreksi pelaksanaan hukum yang melukai keadilan masyarakat.
Beruntungnya di era pemerintahan Prabowo ini harmonisasi hubungan eksekutif, legislatif dan yudikatif pada tataran lembaga tinggi (MA dan MK) terjalin dengan baik, sehingga jika terjadi persinggungan di tingkat bawah, maka keadilan dapat diciptakan dari atas.
Hubungan ini yang menciptakan Trias Politika dalam kerangka penyelenggaraan negara berjalan dengan baik. Penggunaan kewenangan konstitusional presiden yang merupakan bagian dari pembentukan sistem hukum nasional yang berkeadilan secara gradual mulai terlihat.
Tidak bisa dihindari, praktik pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi oleh presiden secara tepat menuai apresiasi dan pujian dari masyarakat, bahkan berada di atas lembaga peradilan itu sendiri.
Alarm bagi Lembaga Peradilan
Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo sebagai eksekutif untuk masuk kepada ranah pembentukan hukum yang adil, yang seharusnya menjadi peran utama lembaga peradilan.
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini harus menjadi koreksi dan evaluasi menyeluruh di semua jajaran lembaga yudisial, bahwa para penegak hukum, terutama hakim, sudah mulai kehilangan mata-batinnya, yang oleh oleh Plato disebut eidos dan sofia, yakni nurani sebagai mata batin hukum, yang menciptakan hukum yang bijak (legal wisdom). Karena intisari dari hukum adalah “kebijaksanaan” (wisdom) dan “kebajikan” (virtue).
Hakim tidak harus terus menerus berlindung di balik hukum positif, yang memutuskan suatu perkara apa kata undang-undang. Peran hakim yang utama adalah sebagai pembentuk hukum melalui penemuan hukum yang adil (rechtvinding).
Dalam memutuskan perkara, hakim harus mempertimbangkan dan menempatkan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, agar putusan yang dikeluarkan tidak hanya adil menurut negara, tetapi juga adil menurut para terdakwa dan masyarakat.
Dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan tegas juga dinyatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Perintah undang-undang ini seharusnya membuat hakim tidak ragu lagi dalam menempatkan dirinya sebagai pencipta keadilan di masyarakat.
Jika lembaga peradilan tidak lagi memiliki mata-batin dan sensitivitas terhadap rasa keadilan di masyarakat, maka ia tidak lebih sekedar menjadi gedung-gedung mati tempat eksekusi yang menakutkan masyarakat, bukan efek jera yang diperoleh, tetapi justru ketidakpercayaan masyarakat terhadap para juris.
Apabila masyarakat tidak lagi mempercayai lembaga peradilan maka satu pilar negara akan runtuh. Oleh karena itu, reformasi sistem peradilan bukan hanya menyangkut tata kelola lembaga peradilan, namun yang terpenting adalah bagaimana membentuk hakim menggunakan “akal-budi” dalam setiap putusan-putusannya.
Pencipta keadilan hukum harus dikembalikan kepada lembaga yudisial, bukan berarti Presiden tidak boleh, secara konstitusional presiden memiliki kewenangan tersebut untuk dipergunakan jika jalan hukum biasa sudah tidak mampu memberi rasa keadilan. Namun, jika keadilan hukum ke depan terus menerus bergantung di tangan presiden, hal ini juga tidak sehat, bahkan mengancam keadilan itu sendiri sebagai lex aeterna, hukum yang bersifat abadi.
Penciptaan keadilan hukum tidak boleh bergantung pada seorang penguasa, karena seorang penguasa (Presiden) bisa datang dan pergi, sementara rakyat dan negara bersifat abadi. Beruntung jika presidennya mempunyai kebijakan yang welas-asih dan mengayomi seluruh rakyat, tetapi jika presidennya bersifat zalim, atau tidak peduli dengan rasa keadilan masyarakat, maka hukum yang adil akan memasuki kegelapan.
Dengan demikian, lembaga yudisial harus memiliki marwah agar rakyat percaya kembali kepada sistem peradilan. Peradilan harus memperlihatkan dan mengajarkan kepada masyarakat bagaimana keadilan itu masih ada dan bisa didapat.
Meskipun sezalim-zalimnya penguasa di suatu negara, jika lembaga peradilan masih tegak lurus mengabdi pada keadilan abadi, maka rakyat masih bisa ada tempat berlindung.
DR Syaiful Bahari
Pengajar Prodi Hukum Universitas Sains Indonesia

