Bukan soal setuju atau tidak setuju dengan keputusan presiden memberikan rehabilitas, namun soal bagaimana sebuah keputusan yang dibungkus objektivitas humanis ternyata membawa konsekuensi yang sangat besar, termasuk potensi hilangnya pemulihan kerugian negara yang sudah diputuskan pengadilan. Inilah preseden pertama, dan justru karena pertama maka masih bisa dan harus direview.
Aspirasi Berjalan Terlalu Cepat
Semua dimulai dari kata aspirasi. Aspirasi masyarakat, keluarga, tokoh politik, atau siapapun yang menyampaikan keluhan bahwa putusan pengadilan “tidak adil”.
Aspirasi katanya disampaikan ke DPR, diterima Komisi III, lalu didorongkan ke Istana. Dalam hitungan minggu jalur administratif bergerak: Sekretariat Negara menyiapkan kajian, Menko Politik Hukum memberi legitimasi, Mahkamah Agung diminta pertimbangan, dan akhirnya Presiden menandatangani keputusan rehabilitasi.
Tidak ada yang salah dari alurnya. Masalahnya adalah gap kritis yang luput dipetakan — siapa yang menilai dampak kerugian keuangan negara jika rehabilitasi diberikan?
Dalam setiap kasus tipikor, termasuk yang melibatkan BUMN, tentu selalu ada dua konsekuensi hukum: pidana untuk pelaku dan emulihan kerugian untuk negara. Nah, pada kasus ASDP, rehabilitasi telah menghapus pidana. Tapi siapa yang bisa memastikan kerugian negara tetap dipertanggungjawabkan? Di sinilah persoalan besarnya.
Presiden Tandatangan, Para Pembantu Menyiapkan
Sebagai orang yang senang cermati audit, saya harus tegaskan satu hal: Presiden Prabowo Subianto yang menandatangani surat rehabilitasi tetapi seluruh proses administratif ditangani para pembantunya. Artinya, kualitas informasi yang masuk ke presiden menentukan kualitas keputusan yang keluar.
Dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa belum terlihat ada uraian publik tentang bagaimana kajian kerugian negara disampaikan ke presiden. Tidak terpublikasi satu pun dokumen administrasi yang menunjukkan cross-check dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK/kerugian BUMN. Tidak pernah dijelaskan apakah Mahkamah Agung (MA) memberi pertimbangan substansial soal kerugian, atau hanya pertimbangan prosedural. Yang paling aktual, tidak ada jaminan bahwa rehabilitasi tidak akan memotong kewajiban penggantian kerugian negara.
Dengan kata lain presiden menggunakan hak prerogatifnya berdasarkan proses administrasi yang dia sendiri tidak lakukan secara langsung, dan sekarang risikonya harus ditanggung negara.
Humanisme yang Berisiko Tinggi
Narasi yang muncul bisa jadi adalah bahwa rehabilitasi dipilih atas dasar kemanusiaan, atau dasar profesionalisme kinerja orang tersebut. Tidak masalah sebab humanisme adalah elemen penting negara beradab.
Tapi dalam tipikor, humanisme tidak boleh menghapus kewajiban mengembalikan kerugian negara. Apalagi BUMN seperti ASDP memiliki kekhususan, yakni uang yang mengalir adalah uang negara dan membebani publik.
Kombinasi humanisme plus aspirasi dan percepatan administratif menciptakan konsekuensi yang tidak dimaksudkan untuk kerugian negara tidak lagi memiliki pengampunya. Siapa yang harus bertanggung jawab sekarang? Siapa yang akan didorong untuk membayar kerugian negara? Apa mekanisme yang dipakai untuk memaksa? Tidak ada jawaban.
Masalah bukan rehabilitasinya, tapi bagaimana caranya diberikan. Saya harus menyampaikan, yang menjadi masalah bukan keputusan presiden tetapi kualitas jalur administratif yang menuntun presiden.
Ketika aspirasi dibiarkan menjadi motor penggerak tanpa audit pendamping, tanpa kajian keuangan, tanpa analisis LHP BPK, dan tanpa skema pemulihan kerugian negara maka yang terjadi adalah kejadian hari ini. Rehabilitasi berjalan,kerugian negara tidak tersentuh, dan publik menanggung akhir dari cerita yang tidak pernah mereka tulis.
Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dan bisa dipakai untuk kasus-kasus berikutnya. Presiden harus melihat ulang demi menjaga negara.
Preseden pertama adalah preseden yang bisa disempurnakan. Maka Presiden Prabowo masih punya ruang untuk meninjau kembali jalur administratif rehabilitasi, khususnya di Sekretariat Negara, Kemenkumham, dan DPR. Memastikan bahwa setiap rehabilitasi tipikor tetap wajib memuat klausul pemulihan kerugian negara, sebagai syarat wajib bukan pilihan. Memberi instruksi kepada Kemenkeu, BPKP, BPK, dan Kejaksaan untuk menghitung ulang kerugian negara yang timbul dan menentukan siapa yang harus membayar.
Dan, membentuk aturan baku bahwa setiap Keppres rehabilitasi dalam perkara negara harus terikat dengan kewajiban finansial yang ketat.
Tanpa prinsip ini negara akan kehilangan miliaran rupiah setiap kali rehabilitasi diberikan. Inilah momentum untuk menunjukkan kepemimpinan presiden. Kasus ASDP adalah cermin yang memperlihatkan dua sisi: betapa cepat dan efisien birokrasi bisa bekerja bila ada aspirasi yang didorong kuat, dan betapa rapuhnya sistem kontrol bila aspek keuangan negara tidak ikut dikawal.
Presiden Prabowo memulai era baru dengan keberanian menata ulang negara. Tentang rehabilitasi ASDP ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh kalah oleh kelengahan administratif.
Ini bukan soal membatalkan rehabilitasi. Bukan soal mengambil kembali keputusan presiden. Tapi soal menambahkan satu lapisan tata kelola agar negara tidak lagi kehilangan hak pemulihan kerugian ketika jalur aspirasi berubah menjadi jalur rehabilitasi.
Preseden pertama harus jadi preseden terbaik. Kalau tidak tentu akan menjadi pintu masuk untuk ratusan permohonan lain yang menggunakan “aspirasi” sebagai bungkus, tapi mengorbankan keuangan negara di ujung cerita.
Iskandar Sitorus
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

