Jakarta –
Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama bicara soal upaya pencegahan polusi udara di Jakarta dengan menyemprot air ke sejumlah jalan protokol Ibu Kota. Berdasarkan penelitian yang dia baca, penyemprotan secara masih justru berpotensi menambah polusi.
Seperti dikutip Antara, Minggu (27/8/2023), menurut penelitian yang dipublikasikan Jurnal Ilmiah ‘Toxics’ pada Juni 2021, Tjandra menuturkan, penyemprotan air dalam skala besar di jalan bukannya mencegah polusi udara tetapi menambah polusi karena meningkatkan konsentrasi PM 2.5-indikator dalam polusi udara dan juga kelembapan.
Sementara itu, Tjandra menerangkan, dalam studi ‘Environmental Chemistry Letters volume’ tahun 2014, menyebutkan penyemprotan air secara geoengineering atau menggunakan seperangkat teknologi untuk intervensi iklim dalam upaya untuk memulihkan perubahan iklim, dapat menurunkan kadar polusi PM 2.5 secara efisien.
“Tetapi memang metodologi penelitian tahun 2014 ini tidaklah selengkap penelitian di jurnal ‘Toxic’ yang juga tahunnya lebih baru, 2021 sehingga secara ilmiah kita jelas membandingkan keduanya,” kata Tjandra.
Dalam penelitan lainnya, lanjut Tjandra, pada Maret 2022 dalam Jurnal ilmiah ‘Proc ACM Interact Mob Wearable Ubiquitous Technol’ memberi perspektif yang berbeda. Peneliti menggunakan metode ‘iSpray (Intellegent Spraying)’ yang dinilai sebagai suatu desain perangkat lunak baru tentang teknik penyemprotan air yang lebih baik.
Hasil penelitian ‘iSpray’ dengan intelegensia memberi cara penyemprotan lebih efisien dan memberi dampak baik pula pada penanganan polusi udara. Tjandra menyampaikan, India pernah mencoba menyemprotkan air saat Kota New Delhi mengalami polusi udara.
Namun, kata Tjandra, tidak memberikan hasil yang memadai. Media The Times of India pada November 2020 menyatakan menyemprotkan air mungkin tidak membuat masyarakat mendapat udara bersih.
Laporan tersebut menyebutkan penyemprotan air akan berguna pada daerah yang sedang banyak membangun gedung dan menimbulkan debu. Di mana apabila terbawa angin dapat menyebabkan banyak debu beterbangan.
“Dengan beberapa penjelasan di atas maka memang harus betul-betul dianalisa secara ilmiah cara apa yang akan kita gunakan untuk mengatasi polusi udara yang masih terus buruk pada hari-hari ini,” ujar Tjandra.
(idn/gbr)