Kalimat ini dimaknai dengan multi tafsir oleh sebagian pengamat baik politik maupun sosial psikologis.
Sebutan hopeng biasanya digunakan masyarakat Tionghoa sebagai bahasa gaul yang berkonotasi seperti sohib alias kawan akrab atau kawan dekat. Tetapi belum termasuk sahabat sejati yang hubungannya lebih spesifik lagi dan biasanya terbatas. Hopeng bisa disematkan pada siapa saja yang dianggap sering bertemu dan dalam banyak hal sependapat dan satu selera.
Persoalannya adalah apakah pernyataan Presiden Prabowo tersebut mendapat imbas yang sama dari Jokowi. Hopeng to Hopeng. Tampaknya sejauh ini tidak terlihat karakter seorang hopeng pada diri Jokowi. Secara umum Jokowi senantiasa bersikap datar, mencoba tidak emosional dan mencerminkan cara pandang yang sama pada semua orang yang berhubungan dengannya.
Prabowo memiliki sifat keterbukaan yang jauh lebih lugas ketimbang Jokowi. Sifat tulusnya yang pernah diungkapkan almarhum Gus Dur acapkali tampak nyata, tidak dibuat-buat. Sementara Jokowi hampir tidak memiliki ekspresi ini.
Tentu saja masing-masing memiliki karakter dan kapasitas integritas yang berbeda-beda. Itu biasa saja dan wajar. Yang tidak wajar adalah ketika yang satu mencoba melindungi, sementara satunya malah menyulitkan.
Eskalasi pertarungan politik selama dua periode kontestasi sungguh menyita banyak energi bangsa. Namun yang lebih menarik untuk menyimak bagaimana kekuatan seorang Prabowo di kala kontestasi untuk ketiga kalinya mampu mengendalikan segala emosi dan penilaian pribadinya terhadap berbagai sepak terjang lawan-lawan politiknya.
Sehingga tentu saja Prabowo memiliki catatan tersendiri selama lima tahun di dalam Kabinet Jokowi, di mana pada awalnya bukan tentang rekonsiliasi tetapi lebih pada menunjukan bahwa dirinya telah berhasil menaklukan Prabowo. Orang yang bahkan menyebutnya hopeng di kemudian hari saat telah berkuasa menggantikan dirinya. Hal yang sama terjadi pada cawapres Sandiaga Uno.
Jokowi memandang kekuatan politik sebagai alat barter kekuasaan semata, sementara Prabowo memandang politik sebagai cara memakai kekuasaan untuk mengurus negara dan rakyat secara komprehensif. Hal ini akhirnya dapat kita lihat pada apa yang harus dihadapi Prabowo akan warisan kebijakan atau sikap Jokowi selaku presiden sebelumnya.
Berbeda dengan Jokowi, maka hubungan Prabowo dengan Sjafrie Sjamsoeddin bukanlah hopeng semata tapi boleh dibilang sahabat sejati.
Maka pada akhirnya rakyat akan melihat dengan jernih bagaimana ketabahan dan kekuatan Presiden Prabowo untuk menghadapi semua permasalahan bangsa ini yang bila menyitir ucapan Luhut Binsar Pandjaitan terkait kereta Woosh sebagai “barang busuk” saat diterima untuk ditanganinya.
Presiden Prabowo dan Tim Kepresidenan menghadapi masalah rongrongan koruptor, mafia tambang, mafia kekayaan alam, hutan beserta isinya.
Bencana akibat ulah mereka yang tak ditangani oleh pemerintahan Jokowi selama sepuluh tahun telah meletup dan meluluh lantakan tanah Sumatera dan Aceh dengan ratusan korban jiwa, harta benda tak terkira.
Dampak kehidupan yang butuh pemulihan bertahun-tahun ke depan tentu tak bisa disebut sebagai hopeng, melainkan lebih kepada “ach itu hanya topeng belaka”, ketika sang hopeng harus merawat wajahnya yang berubah itu.
Adian Radiatus
Pemerhati masalah sosial dan politik

