Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa sebelum bencana terjadi, banyak prediksi sebenarnya sudah disampaikan sejak 10 tahun lalu.
“Greenpeace sudah pernah mengingatkan, tapi tidak didengar,” ujar Iqbal lewat kanal Youtube Abraham Samad, Rabu, 3 Desember 2025.
Menurut Iqbal, para ahli lingkungan sejak lama telah memperingatkan bahwa perubahan iklim yang semakin masif berpotensi memperparah kerentanan wilayah Sumatera. Namun, kebijakan pemerintah dinilainya lebih menuruti kepentingan ekonomi dan politik ketimbang mendengar suara sains.
Ia menjelaskan dua penyebab utama bencana kali ini. Pertama, cuaca ekstrem yang sering dijadikan alasan resmi. Kedua, kondisi ekologis yang menurutnya memang sudah hancur.
“Ada kebijakan pemberian izin yang tidak mempertimbangkan situasi lingkungan hidup dan situasi kehutanan,” tegasnya.
Iqbal juga menyoroti banyaknya kayu gelondongan yang ditemukan di lokasi bencana. Meski pihak Kementerian Kehutanan sempat menyebut itu kayu lapuk atau tumbang, observasi di lapangan justru menunjukkan indikasi kuat pembalakan liar.
“Bukti pandangan mata menunjukkan itu adalah kayu yang sudah digergaji,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tragedi ini tidak bisa semata-mata disebut sebagai takdir.Dalam analisisnya, Iqbal menyebut ada tiga menteri yang patut dimintai pertanggungjawaban atas bencana besar tersebut.
Pertama Raja Juli Antoni yang berwenang dalam pemberian izin dan pengawasan kehutanan. Lalu Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM yang berwenang memberi izin tambang dan izin pemanfaatan kawasan hutan, termasuk pengawasan atas izin tersebut. Selanjutnya Hanif Faisol, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menerbitkan izin AMDAL.
“Jadi ketika ada bencana seperti ini, berarti ada fungsi mereka yang tidak bekerja. Apakah fungsi pengawasan atau pengendalian. Atau mereka melakukan pembiaran. Pembiaran dalam administrasi itu sebuah kesalahan. Pura-pura tidak tahu,” tegas Iqbal.
Ia bahkan menyatakan bahwa langkah hukum bukan hal yang mustahil dilakukan. Dengan kritik keras tersebut, Greenpeace menekankan bahwa bencana yang terjadi bukan sekadar urusan alam, melainkan refleksi dari kebijakan yang lalai menjaga keseimbangan ekologis.
“Ini sangat mungkin diajukan baik ke mahkamah internasional maupun dalam negeri untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Masyarakat yang menjadi korban bencana bisa juga meminta ganti rugi terhadap para pengambil kebijakan,” tandasnya.

