Jujur saja, kalau hari ini ada kuis tanya jawab di jalanan: “Siapa yang nulis Pasal 33 UUD 1945 itu?”, jawaban paling jujur yang bakal keluar dari mulut orang Indonesia adalah “entahlah, buah naga?” Kita semua hafal bunyinya, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting dikuasai negara, bumi air dan kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi nama orang yang bikin kalimat itu sampai hari ini masih jadi misteri lebih gelap dari kasus hilangnya dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Namanya RM Margono Djojohadikusumo. Ya, kakeknya Prabowo Subianto. Maaf kalau ini terdengar seperti plot twist sinetron, tapi orang ini bukan figuran. Dia adalah penulis utama pasal yang selama tujuh puluh delapan tahun jadi alasan kenapa kita masih bisa berdebat soal BUMN vs swasta, soal koperasi vs konglomerasi, soal Freeport, soal IKN, soal makan siang gratis, bahkan soal kenapa harga beras naik tiap Lebaran. Semua debat ekonomi kita hari ini, akarnya ada di otaknya Margono tahun 1945.
Nuan bayangkan! Tahun 1945, Jepang masih pegang komando, Belanda sudah siap-siap balik dengan kapal perang, Jakarta masih bernama Batavia, dan orang-orang di BPUPKI sibuk berdebat apakah sila pertama pakai “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” (dengan tanda hubung).
Di tengah-tengah orang-orang pada pusing soal rumusan Pancasila, tiba-tiba ada satu orang yang angkat tangan di sidang 31 Mei 1945 dan bilang kurang lebih begini, “Maaf Bung, sebelum kita ribut soal Tuhan, boleh nggak kita bicara soal perut rakyat dulu? Kalau merdeka tapi rakyat tetap miskin dan ekonominya dikuasai segelintir orang, buat apa kemerdekaan itu?”
Orang itu Margono. Dia tidak cuma ngomong. Dia bawa draf. Draf yang akhirnya jadi Pasal 33 UUD 1945 hampir utuh tanpa revisi besar. Soekarno, Hatta, Soepomo, M Yamin, semua setuju. Karena memang tidak ada yang bisa membantah. Orang ini sudah mikirin ekonomi kerakyatan sebelum kata “neoliberal” lahir di kamus Barat.
Lalu Juli 1946, negara baru setahun merdeka, kantor pemerintahan masih numpang di gedung-gedung bekas Belanda, uang republik belum diakui siapa-siapa, inflasi gila-gilaan, Belanda lagi blokade laut. Di tengah kekacauan itu Margono mendirikan Bank Negara Indonesia, bank pertama milik Republik Indonesia, cikal bakal Bank Indonesia sekarang. Dia lakukan itu sambil dua anak laki-lakinya, Sarwono dan Subianto, gugur dalam Pertempuran Lengkong Januari 1946. Jadi sambil nangis kehilangan dua putra, dia tetap bikin bank negara. Kalau itu bukan definisi pahlawan, entah apa lagi yang pantas.
Yang paling bikin hati nyeri, selama ini kita cuma tahu pahlawan itu yang foto hitam-putih, megang senapan, atau pidato sambil teriak “merdeka!”. Kita lupa ada pahlawan yang megang pensil dan kalkulator, yang nulis pasal ekonomi di tengah perang, yang bikin negara ini punya tulang punggung finansial sebelum negara ini punya tentara yang bener.
Namanya tidak pernah masuk buku pelajaran. Tidak ada jalan protokol Margono Djojohadikusumo di Jakarta. Patungnya nol. Hari lahirnya tidak pernah diliburkan. Kita lebih hafal nama jenderal yang kalah perang dari nama orang yang menang perang ekonomi sebelum perang fisik selesai.
Sekarang, tahun 2025, tiba-tiba ada orang-orang baik dari Banyumas, PWI Jatim, sejarawan, ekonom, mantan gubernur BI, pada kompak bilang, “Eh, kok Margono belum pahlawan nasional ya?” Ya Tuhan, delapan dekade telat kalian baru sadar. Ini lebih lambat dari proyek kereta cepat.
Jadi kalau nanti Presiden Prabowo mengabulkan usulan ini dan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada kakeknya sendiri, tolong jangan buru-buru teriak “nepotisme”. Ini bukan nepotisme. Ini negara yang telat delapan puluh tahun ngasih medali kepada orang yang seharusnya dari dulu dapat bintang jasa lebih besar dari siapa pun.
Lagian, kalau kakeknya nggak nulis Pasal 33 tahun 1945, mana mungkin Prabowo berani janji makan siang gratis sekarang? Dasarnya sudah ada, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tinggal dieksekusi, cuma telat tujuh dekade lebih sedikit.
So, layakkah RM Margono Djojohadikusumo jadi Pahlawan Nasional?
Bukan lagi soal layak atau tidak. Ini sudah keterlaluan kalau tidak.
Selamat, nuan baru saja tahu salah satu rahasia terbesar sejarah Indonesia yang entah kenapa disembunyiin dari buku pelajaran selama ini. Tenang, sampeyan tidak sendiri.
Kita semua baru tahu hari ini. Saya juga baru tahu, semalam. Saat tulisan ini dibuat.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

