Kaki-kaki kecil berbaris di depan rumah bercat merah muda. Anak-anak yang tinggal tidak jauh dari bibir pantai utara Jakarta itu satu per satu menyebutkan cita-cita mereka. Seorang di antaranya bernama Ajat. Dengan lantang ia mengatakan, dirinya sangat ingin menjadi seorang guru.
Kampung di mana Ajat tinggal, sosok guru memang sulit ditemui. Selain lokasi sekolah formal yang tidak terlalu dekat, masyarakat di sana sudah terlanjut disibukkan oleh rutinitas sebagai keluarga nelayan. Demikian pula dengan Ajat, sebagai anak seorang pencari ikan di perairan Jakarta, ia pun fasih membagi waktu antara larut dalam rutinitas itu serta kembali menyusun strategi untuk menjemput mimpinya menjadi guru.
Beruntung, tekad Ajat didukung oleh Desi. Perempuan paruh baya itu dikenal sebagai ‘Bunda’ oleh Ajat dan teman-teman sebayanya. Desi tidak datang tiba-tiba. Setidaknya, sudah 16 tahun Bunda Desi mendampingi anak-anak nelayan yang tinggal di kolong jembatan Cilincing untuk mengenyam pendidikan.
Desi mengakui, mendidik anak-anak nelayan di lingkungan tempat tinggalnya tidak hanya memerlukan kerja ekstra, tetapi juga strategi jitu. Sebab, situasi perkampungan yang terdiri dari para pendatang itu terlalu keras bagi anak-anak seumuran Ajat. Ditambah lagi, para orang tua yang tidak mengenyam pendidikan merasa bahwa anak-anaknya pun tidak perlu berbekal ilmu tinggi untuk menjalani hidup.
“Kojem (Kolong Jembatan Cilincing) itu adalah tempat ilegal yang memang tidak ada di data pemerintah. Kojem itu, orang banyak bilang adalah tempat kriminal. Tempat dunia malam. Tempat banyak PSK (Pekerja Seks Komersial). Banyak diskotik. Kalau garis besar, kita bilang, tempat yang kurang baik. Tempat yang kurang bagus, kurang layak, untuk semua hal. Baik untuk anak, orang tua, untuk siapapun nggak bagus,” kata Desi Purwatuning kepada tim Sosok detikcom (29/1/23).
Sulitnya mendapat tempat layak, halaman selanjutnya.