Menurut BPS, rata-rata IPM nasional menyembunyikan kesenjangan spasial yang nyata: 85,05 di DKI Jakarta berbanding 54,91 di Papua Pegunungan. Kesenjangan ini bukan sekadar angka geografis, tetapi juga mencerminkan ketimpangan produktivitas dan kualitas pekerjaan. Konsepnya, provinsi dengan IPM tinggi cenderung memiliki porsi pekerja formal lebih besar, sedangkan provinsi ber-IPM rendah masih bergantung pada sektor informal.
Dalam konsep labour economics, kenaikan IPM seharusnya meningkatkan produktivitas dan upah riil. Namun, di lapangan sering terjadi decoupling: pendidikan meningkat, tetapi struktur kesempatan kerja belum ikut naik kelas. Penyebabnya ada di sisi permintaan tenaga kerja-ekspansi sektor formal belum cukup cepat, terutama di luar Jawa.
Kebijakan pemerintah saat ini tampaknya memahami dilema ini. Program hilirisasi industri, pembangunan IKN, dan agro-maritim corridor yang digerakkan pemerintahan Prabowo Subianto diarahkan bukan sekadar untuk menambah PDB, melainkan memperbanyak titik serap tenaga kerja modern di luar pusat ekonomi lama. Ini adalah bentuk koreksi struktural terhadap dualisme Lewis yang selama puluhan tahun membelah dunia kerja Indonesia.
Produktivitas dan Kualitas Pembelajaran
Kenaikan Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) sering dianggap bukti konkret kemajuan pendidikan. Tetapi ditinjau dari perspektif ketenagakerjaan akan mengingatkan: tahun sekolah tidak selalu berarti tahun belajar. Jika mutu pembelajaran stagnan, lama sekolah menjadi sinyal yang lemah bagi produktivitas.
Data PISA menunjukkan skor literasi Indonesia relatif datar selama satu dekade, padahal HLS naik lebih dari satu tahun. Artinya, human capital meningkat dalam kuantitas, belum dalam kualitas. Di pasar kerja, hal ini kerap muncul sebagai skills mismatch: banyak lulusan tidak terserap pada pekerjaan yang sesuai.
Grafik 1. Jalur Konseptual: Dari IPM ke Perbaikan Struktur Pasar Kerja
Grafik 1 di atas memperlihatkan rantai sebab akibat yang berelasi kuat di mana kenaikan IPM meningkatkan kapasitas dasar (kesehatan, pendidikan, daya beli), yang seharusnya memicu kenaikan produktivitas dan upah. Namun rantai ini sering “putus” di tengah karena tiga faktor: mutu belajar stagnan -kapasitas tidak bertransformasi menjadi keterampilan; biaya logistik dan energi tinggi -menghambat ekspansi industri padat kerja; lemahnya aglomerasi -produktivitas sulit melonjak di luar Jawa.
Pemerintah saat ini telah mencoba menautkan kembali rantai yang putus itu. Strategi industrial upgrading, vokasi berbasis industri, serta kemitraan rantai pasok UMKM menjadi pengungkit agar kenaikan IPM berujung pada transformasi kerja nyata. Program apprenticeship nasional dan sertifikasi keterampilan yang mulai dirancang lintas kementerian dapat mempercepat perpindahan pekerja dari informal ke formal tanpa harus menunggu pertumbuhan PDB dua digit.
Inilah pendekatan labour-centric development: menjadikan pembangunan manusia bukan tujuan akhir, melainkan sebagai modal untuk membangun pasar kerja yang lebih produktif dan terlindungi.
Penutup
Kenaikan IPM hanyalah fondasi awal. Tanpa jembatan menuju sektor modern, peningkatan kapasitas manusia belum tentu berujung pada kesejahteraan. Pemerintah kini bergerak di jalur yang relatif tepat: memperluas basis industri, membangun pusat pertumbuhan baru, memperkuat pendidikan vokasi, serta menautkan UMKM dengan rantai nilai global.
Langkah-langkah itu, bila dijaga konsistensinya, akan membuat kenaikan IPM benar-benar menetes ke pasar kerja -menciptakan pekerjaan layak, menaikkan produktivitas, dan memperkuat kelas menengah pekerja Indonesia.
“IPM adalah ukuran seberapa siap rakyat untuk maju, tetapi pasar kerja adalah ukuran apakah negara benar-benar memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh.” Dalam konteks pemerintahan sekarang, ruang itu terindikasi mulai terbuka lebih luas dari sebelumnya.
*Penulis adalah Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute dan CEO SAN Scientific.

