Tidak berlebihan Menteri HAM Natalius Pigai mengangkat Pangku sebagai film bernuansa HAM. Karena Sartika (Claresta Taufan Kusumarina) dan teman-temannya yang terpaksa menjadi penghibur di warung remang-remang di kampung nelayan itu, bisa dipastikan sebagai korban human trafficking.
Perdagangan Manusia (human trafficking) merupakan tindak pidana pelanggaran HAM yang diatur dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Tapi lebih dari sekedar panggung human trafficking, secara keseluruhan Pangku merupakan fenomena masyarakat miskin negeri ini sebagai korban pelanggaran HAM yang dilakukan negara, dari zaman ke zaman, dari era ke era. Sejak zaman kolonial hingga abad digital.
Menggedor Moral Intelektual
Sebagai sebuah karya sinematografi, Pangku tidak perlu telaah berlebihan. Berbagai penghargaan di panggung internasional, seperti Hong Kong Asia Film Financing Forum, Busan International Film Festival (BIFF) dan Festival Film Indonesia (FFI) 2025, cukup membuktikan bahwa secara sinematografis film ini berkelas.
Benar, Pangku memang mampu menggambarkan realitas kehidupan masyarakat miskin pantura (pantai utara) Eretan. Dibuat para maestro dalam setiap unsurnya (kamera, editing, artistik, musik, lighting, acting, skenario, dll).
Penceritaan yang datar, lamban, tanpa pretensi, tanpa jargon, bahkan nyaris tanpa emosi, namun justru memiliki energi kuat dalam menggedor moral intelektual dan tanggungjawab soal kaum elite (penguasa) negeri ini.
Kenapa mereka tak tergerak jiwanya melihat drama sosial kemiskinan kolosal ini? Sampai akhirnya, karena semua daya hidup dibiarkan terbunuh waktu, masyarakat miskin Indonesia itu memilih “berdamai dengan penindasan dan penderitaan” yang mengepung mereka.
Khusus untuk Reza Rahadian, memang perlu tambahan catatan. Ia layak dapat 5 (lima) Bintang sebagai penulis features dan sutradara film pertama. Capaiannya lebih sempurna dibandingkan film pertama banyak sutradara kita. Bahkan tetap lebih baik dibandingkan film pertama Garin Nugroho, Cinta dalam Sepotong Roti.
Bukan Sekedar Kemiskinan Struktural
Nonton Pangku memang menyakitkan. Kita seperti menyaksikan CCTV kehidupan nyata, kehidupan keseharian masyarakat yang dimarjinalisasi negara secara semena-mena.
Sejak adegan pertama, saat Sartika yang hamil tua diturunkan paksa dari truk barang, lalu berkelana entah ke mana, sampai akhirnya bertemu Mbok Maya (Christien Hakim) pemilik warung yang kemudian mempekerjakannya, dan melahirkan anak, hingga bertemu Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk pengangkut ikan, berjalan sekitar 5-6 tahun.
Selama 5-6 tahun itu kita menyakskan realitas kehidupan orang-orang miskin yang pasrah, yang merasa mereka memang dilahirkan untuk menjalankan takdirnya sebagai kaum papa, orang miskin. Dan dianggap semua itu normal belaka.
Oscar Lewis, sosiolog Amerika pada akhir 1950-an pernah melakukan penelitian pada 5 Keluarga Meksiko melahirkan buku Five Families. Lewis menemukan teori kunci: Budaya Kemiskinan (Culture of Poverty). Masyarakat Mesiko telah menjadikan kemiskinan sebagai bagian dari budaya mereka!
Pada 1980-an, Selo Soemardjan, dinobatkan sebagai Bapak Sosiologi Indonesia, pernah mempopulerkan istilah “Kemiskinan Struktural” untuk menjelaskan peta kemiskinan di negeri ini.
Penjelasannya, dalam struktur sosial, orang-orang miskin itu, memang berada di posisi marjinal. Oleh sebab itu tidak bisa mengakses sarana untuk meningkatkan kelas sosial mereka. Pandangan Selo Soemaardjan ini melengkapi teori kemiskinan Karl Mark, Max Weber dan Pierre Bourdieu.
Tapi yang dikisahkan Reza Rahadian dalam Pangku tak cukup dijelaskan dengan teori Oscar Lewis (Culture of Poverty) maupun Selo Soemardjan (Kemiskinan Struktural).
Karena itu, kemiskinan dan penderitaan bagi rakyat bukan sekadar hasil dari kemiskinan struktural, tetapi bagian dari budaya yang dinormalisasi. Jika Meksiko mengalami “culture of poverty”, Indonesia mengalami sesuatu yang lebih dalam: “culture of subordination”-budaya tunduk, budaya pasrah, budaya menerima penindasan sebagai takdir.
Paradox of Proximity
Ironi paling telak dalam Pangku hadir pada adegan Sartika dan anaknya yang meminta belas kasihan hanya untuk mendapatkan ikan-di kampung nelayan yang hidup bersentuhan langsung dengan laut.
Dalam ilmu antropologi moral, ironi semacam ini disebut moral paradox of proximity: kedekatan fisik dengan sumber daya tidak menjamin akses terhadapnya. Laut hanya “sejengkal kaki”, tetapi menjadi ruang yang tidak lagi dapat diakses warga miskin karena relasi kuasa, regulasi, dan dominasi ekonomi yang mengunci mereka dari sumber daya alam yang secara historis merupakan hak mereka.
Adegan ini memperlihatkan bahwa: Kemiskinan bukan sekadar ketiadaan harta, melainkan kegagalan struktural negara dalam menjamin hak hidup dasar warganya, termasuk akses terhadap sumber pangan lokal.
Ketimpangan maritim Indonesia-sebagai negara kepulauan yang ironisnya membuat warga pesisir tidak berdaulat atas lautnya sendiri.
Degradasi martabat: meminta ikan di kampung nelayan adalah bentuk “penghinaan sistemik” yang lahir dari kolonisasi ekonomi terhadap komunitas pesisir.
Ungkapan populer bahwa “orang Jepang menjadi bangsa cerdas karena mengonsumsi banyak ikan” menjadi kontras yang kejam di sini. Pangku memanfaatkan ironi ini untuk menyerang imajinasi nasionalisme kosong: negeri yang bangga sebagai negara maritim, tetapi gagal menjadikan ikan -simbol kekayaan alamnya- sebagai sumber kecukupan warganya sendiri.
Adegan itu menegaskan bahwa Pangku bukan hanya film keluarga, melainkan tuduhan sosial: negara membiarkan warga paling dekat dengan laut justru menjadi yang paling lapar.
Negara Gagal Mendistribusikan Keadilan
Kalau melihat peta negeri ini, sebagai bangsa yang religius, kita semua pasti sepakat bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah telah memberikan semua persyaratan bagi bangsa ini untuk hidup sejahtera. Tapi kenapa kesejahteraan hanya dimonopoli sekelompok atau segolongan masyarakat semata?
Sekelompok orang, yang mengatasnamakan negara-pemerintahan, dan masyarakat secara suka rela menyetujuinya, kemudian mengelola seluruh sumber daya kehidupan yang dianugerahkan Tuhan itu untuk mereka sendiri. Ini terjadi dari zaman ke zaman. Dari pemerintahan raja-raja, pemerintahan kolonial hingga pasca kemerdekaan di era digital ini.
Dalam konteks inilah Pangku menjadi fenomena masyarakat korban pelanggaran HAM negara, karena dengan kekuasaannya, mereka memarjinalkan sebagian masyarakat, dan tidak terdistribusi keadilan untuk mengakses sumber daya kehidupan yang dianugerahkan Tuhan untuk seluruh rakyat Indonesia!
Penutup. Dengan karya pertamanya Pangku, sineas berbakat Reza Rahadian ingin mempertontonkan potret gelap yang dibuat secara terang-benderang betapa mereka, orang-orang miskin itu, sudah berdamai dengan penindasan dan penderitaan.
Maka jika kaum intelektual dan para elite penyelenggara negara tidak mau memperjuangkan nasib mereka, sampai kiamat mereka akan tetap seperti itu.
Dan kalau itu terjadi, maka kalian merupakan komplotan pelaku tindak kejahatan HAM berat karena dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. Terkutuklah kalian!

