Karena itu, wacana Undang-Undang Sistem Perkooperasian Nasional, penguatan LPDB, serta opsi bank koperasi, dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) patut dibaca bukan sebagai proyek slogan politik belaka-melainkan sebagai rekayasa institusi yang menentukan apakah koperasi menjadi mesin produktivitas desa atau hanya papan nama baru.
Koperasi yang Hanya “Ramai di Akta”
Problem koperasi kita jarang tunggal; berlapis masalah dan biasanya berbentuk “paket kombo” sosial-ekonomi:
Pertama, tata kelola. Banyak koperasi lemah pada transparansi, akuntabilitas pengurus, kualitas rapat anggota, dan disiplin pembukuan. Ketika partisipasi anggota rendah, koperasi mudah jadi arena elite capture: keputusan diambil segelintir orang, sementara risiko (kredit macet, salah kelola, bahkan fraud) ditanggung kolektif. Ini bukan isu moral semata—ini isu desain insentif.
Kedua, model bisnis yang sempit. Secara historis, banyak koperasi terkunci di sektor konsumsi dan simpan-pinjam, dengan kemampuan lemah masuk ke sektor riil/produksi. Padahal nilai tambah terbesar desa justru lahir dari agregasi: pembelian input bersama, pengolahan pascapanen, gudang, logistik, dan pemasaran. Menkop sendiri menekankan reposisi koperasi agar masuk sektor produksi/manufaktur -ini pengakuan implisit bahwa pola lama tidak cukup.
Ketiga, akses modal dan skala. Koperasi punya dilema klasik: ingin tetap demokratis berbasis anggota, tetapi butuh modal besar untuk investasi produktif. Tanpa instrumen pembiayaan yang cocok, koperasi sulit “naik kelas” dari usaha mikro ke rantai pasok yang lebih tinggi. Di sinilah penguatan LPDB dan opsi bank koperasi menjadi relevan sebagai “infrastruktur keuangan” gerakan koperasi.
Keempat, ketidakpastian regulasi dan tafsir. Koperasi masih bertumpu pada UU lama (UU 25/1992) yang statusnya sudah mengalami perubahan melalui regulasi turunan/omnibus, namun tetap memunculkan ruang tafsir saat pemerintah mendorong format koperasi desa skala besar. Di ruang tafsir inilah risiko “jebakan hukum” bisa lahir: koperasi dipaksa menyerupai korporasi/BUMDes, tetapi diminta taat pada prinsip koperasi; ujungnya rancu.
UU Baru, Bank Koperasi, LPDB, dan KDMP, tapi Harus Anti-Ilusi
Wacana UU Sistem Perkooperasian Nasional ini penting karena ia mencoba menutup “lubang desain” tadi, terutama pada tata kelola. Menkop menyebut sekitar 60% muatan RUU berisi pembaruan, terutama aspek governance, dan bab/pasal KDMP akan dimasukkan agar punya dasar hukum kuat (tidak sekadar menumpang interpretasi UU lama). Ini sinyal yang tepat karena program sebesar KDMP tidak boleh berdiri di atas fondasi legal yang setengah jadi.
Namun, UU baru hanya kerangka. Agar tidak jadi kosmetik, tentunya ada tiga “syarat waras”:
Governance yang bisa diaudit, bukan hanya dinasihati. Kalau tujuan RUU adalah memperkuat tata kelola koperasi, maka ukuran suksesnya harus konkret: standar pelaporan, audit, uji kelayakan pengurus/manajer, mekanisme sanksi, dan perlindungan anggota. Reformasi koperasi gagal biasanya bukan karena kurang pelatihan, melainkan karena insentif buruk tidak diubah.
Pembiayaan yang cocok dengan DNA koperasi. Penguatan LPDB relevan bila diarahkan sebagai leverage untuk investasi produktif (gudang, cold chain, pengolahan, klinik/apotek desa sesuai konsep KDMP), bukan sekadar menggantikan kredit bank komersial. Menkop Ferry Juliantono bahkan menyatakan akan membahas penambahan modal LPDB dengan Menkeu Purbaya agar koperasi mampu masuk manufaktur -ini arah yang pro-produktivitas, bukan sekadar pro-kredit.
Bank koperasi: jembatan, tapi bukan jebakan. Opsi bank koperasi—baik patungan antar-koperasi maupun akuisisi bank -menarik untuk mengatasi gap intermediasi dan membangun financial backbone koperasi. Tapi bank koperasi juga berisiko bila tata kelola koperasinya belum matang: ia bisa menjadi mesin penghimpun risiko sistemik. Artinya, tahapannya harus realistis: mulai dari penguatan manajemen risiko, kualitas aset, dan kepatuhan, baru ekspansi.
Di sisi KDMP, target operasional 2026 yang beredar di pemberitaan menunjukkan ambisi besar: ritel sembako ala modern, klinik/apotek, gudang, dan fungsi layanan desa lainnya. Ini bisa jadi lompatan kesejahteraan -asal tidak jatuh ke dua dosa klasik: politisasi (koperasi jadi proyek seremonial) dan substitusi pasar (koperasi mematikan usaha lokal alih-alih mengorkestrasi kemitraan rantai pasok).
Reformasi Koperasi Itu Soal Desain
Koperasi adalah teknologi sosial: ia bekerja jika aturan mainnya membuat orang jujur lebih mudah daripada curang, dan produktif lebih untung daripada oportunis. Karena itu, dorongan Menkop Ferry Juliantono untuk UU baru yang menajamkan tata kelola, penguatan LPDB sebagai pengungkit sektor riil, serta eksplorasi bank koperasi, adalah arah kebijakan yang masuk akal secara ekonomi-politik.
Patut diapresiasi, bahwa Presiden Prabowo Subianto menempatkan program KDMP sebagai agenda strategis, karena di situlah arena paling nyata untuk membuktikan ekonomi Pancasila yang bukan dengan slogan belaka, melainkan dengan koperasi desa yang benar-benar transparan, kompeten, dan tentunya produktif. Jika desain hukumnya rapi dan eksekusinya disiplin, KDMP bisa menjadi “laboratorium nasional” yang mengembalikan koperasi ke makna aslinya yaitu alat warga untuk berdaulat atas ekonomi mereka sendiri.
*Penulis adalah Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute dan CEO SAN Scientific.

