Peraturan dibuat lebih progresif, tetapi birokrasi sering menurunkannya menjadi kompromi. Penegakan hukum dikerjakan dengan ambisi modern, tetapi dibebani kebiasaan lama.
Sementara masyarakat didorong oleh media sosial, menuntut keadilan dalam hitungan menit, bukan berbulan-bulan.
Kaleidoskop hukum 2025 bukan sekadar catatan retrospektif, tetapi cermin sejauh mana kita bergerak, sejauh mana kita tersendat, dan sejauh mana kita siap menghadapi masa depan yang jauh lebih kompleks dari tahun-tahun sebelumnya.
RKUHAP 2025: Reformasi Terbesar dalam Proses Peradilan Pidana Modern
Pengesahan RKUHAP 2025 menjadi tonggak paling monumental tahun ini. Revisi terhadap perangkat hukum acara pidana yang sudah berusia puluhan tahun akhirnya menandai babak baru. Penguatan hak tersangka, kejelasan batasan kewenangan penegak hukum, pengaturan ulang mekanisme penangkapan, penahanan, dan penyitaan, serta digitalisasi administrasi peradilan.
Namun seperti reformasi hukum lainnya, tantangannya bukan pada bunyinya—tetapi pada kemauan mengeksekusinya.
Ada tiga batu sandungan besar:
1. Resistensi Kebiasaan Lama
Sebagian aparat masih melihat reformasi sebagai ancaman, bukan peningkatan integritas. “Cara lama terbukti berhasil,” begitu alasan klise yang terus berulang.
2. Minimnya Infrastruktur Penunjang
Digitalisasi BAP, e-berkas, dan integrasi antar lembaga masih seperti proyek puzzle yang kepingnya tercecer di berbagai ruangan kementerian.
3. Tekanan Publik yang Tak Sinkron
Di sisi lain masyarakat menuntut keadilan cepat, meski proses pidana yang beradab memang—secara intrinsik—tidak boleh instan.
RKUHAP 2025 menunjukkan satu kenyataan:
Indonesia sudah bertekad memiliki proses hukum modern, tetapi mentalitas penegakan hukumnya masih harus dikejar keras di 2026.
Kontroversi ASN di BUMN: Regulasi Menguat, Resistensi Mengakar
Larangan ASN aktif merangkap jabatan di BUMN menjadi salah satu isu yang paling menyita perhatian sepanjang 2025. Wacana ini menyentuh jantung masalah klasik, konflik kepentingan, integritas jabatan publik, dan profesionalisme tata kelola korporasi negara.
Secara prinsip, keputusan ini benar. Tidak ada ruang bagi “dua topi” dalam jabatan publik yang sensitif. Tetapi reaksi keras dari berbagai pihak membuktikan bahwa kebijakan yang benar belum tentu mudah diterapkan.
Di balik penolakan muncul pemahaman baru di publik ketika regulasi ingin memperbaiki sistem, pihak yang paling ribut biasanya adalah pihak yang paling diuntungkan oleh sistem lama.
Jika 2025 adalah tahun perdebatan, maka 2026 harus menjadi tahun penegakan. Tanpa itu, kebijakan bersih ini akan menjadi lembar wacana tanpa keberanian implementasi.
Kerugian BUMN dan Tafsir Hukum: Antara Norma, Auditor, dan Birokrasi Penegakan
UU BUMN 2025 menegaskan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara. Sebuah prinsip penting untuk meminimalkan kriminalisasi kebijakan bisnis dan memberi ruang bagi direksi untuk mengambil risiko korporasi yang wajar.
Namun apa yang terjadi di lapangan?
Auditor BUMN masih membawa paradigma “semua kerugian harus dianggap kerugian negara”.
Penyidik memandang setiap penyimpangan administratif sebagai potensi tindak pidana.
Publik menekan melalui media sosial, menghasilkan persepsi bersalah sebelum pemeriksaan dimulai.
Maka terciptalah ekosistem hukum yang bising: satu undang-undang ingin bergerak maju, tetapi institusi lain memelihara tradisi lama.
2025 memperlihatkan bahwa reformasi hukum korporasi tidak akan selesai oleh satu UU. Ia memerlukan harmonisasi lintas lembaga, disiplin profesional, dan keberanian besar untuk menutup ruang kriminalisasi kebijakan yang selama ini menjadi sumber ketakutan manajemen BUMN.
Redenominasi Rupiah: Reformasi Moneter dengan Dampak Moral Nasional
Diskursus redenominasi kembali menguat dan memasuki ruang kebijakan nasional. Manfaatnya jelas, penyederhanaan transaksi, efisiensi sistem pembayaran, serta modernisasi ekonomi.
Namun ada fenomena menarik tahun ini, yang paling resah bukan pelaku ekonomi, tetapi para penimbun uang haram yang menyimpannya secara fisik.
Redenominasi mewajibkan seluruh uang lama masuk kembali ke sistem bank. Ini berarti uang hasil korupsi yang ditumpuk di brankas rahasia harus keluar ke permukaan, setiap transaksi penukaran akan meninggalkan jejak, dan aparat memiliki peluang emas untuk menelusuri sumber dana ilegal.
Tidak heran redenominasi dipuji sebagai “kebijakan moneter yang juga bertindak sebagai operasi moral nasional.”
2025 memperlihatkan bahwa negara bukan hanya memerangi inflasi, tetapi juga memukul seluruh ekosistem gelap yang selama ini bersembunyi di balik uang tunai.
Legalitas Airbnb, Villa, dan Pergeseran Ekonomi Pariwisata
Pertarungan regulasi antara daerah, pusat, pengusaha hotel, operator digital, dan pemilik properti mengisi headline sepanjang tahun. Tidak ada sektor yang lebih terpukul oleh “ketidakjelasan regulasi” selain sektor akomodasi digital.
Pertanyaan publik sederhana: Apakah Airbnb legal?
Jawabannya kompleks. Dan justru di situlah akar persoalan.
Pemerintah daerah mengejar pajak. Pemerintah pusat ingin mendukung ekonomi kreatif dan pariwisata.
Hotel ingin persaingan adil. Warga ingin menyewakan ruang untuk tambahan pendapatan. Platform digital ingin tumbuh tanpa hambatan.
Situasi 2025 menegaskan satu pelajaran besar:
ketika regulasi berjalan lambat, ekonomi akan menemukan jalannya sendiri—dan negara akan selalu terlambat mengejar.
Kejahatan Digital 2025: AI, Deepfake, dan Realitas Baru Kriminalitas
2025 adalah tahun ketika kejahatan digital berevolusi menjadi jauh lebih canggih daripada instrumen hukum dan aparat.
Deepfake digunakan untuk memeras, memalsukan suara keluarga, bahkan menciptakan “pejabat palsu” yang meyakinkan.
Penipuan investasi semakin profesional dan didukung AI yang mempelajari kelemahan psikologi korban.
Sementara itu, kerangka hukum dan aparat masih dipaksa bekerja dalam paradigma lama.
Tahun ini memberi peringatan keras kejahatan digital tidak bisa ditangani dengan pendekatan konvensional.
Ia memerlukan unit cyber yang benar-benar profesional, regulasi yang lincah, dan literasi digital nasional yang bukan hanya slogan.
Santet, Metafisika, dan Realita Sosial dalam Sistem Hukum
Fenomena santet kembali menjadi perbincangan publik setelah beberapa kasus viral. Kita mungkin tertawa, tetapi faktanya laporan masyarakat meningkat, psikosomatis sering disalahartikan sebagai gangguan gaib, dan aparat kebingungan dalam menindak aduan yang tidak memiliki bukti fisik.
Tahun ini menegaskan keunikan hukum Indonesia:
hukum kita tidak hanya mengatur dunia material, tetapi harus peka terhadap realitas kepercayaan sosial yang hidup dalam masyarakat.
Diskursus santet bukan tentang “percaya atau tidak”, tetapi tentang bagaimana negara merespons keluhan masyarakat tanpa membuka ruang bagi kriminalisasi berlebihan atau manipulasi emosional.
Tahun Viralisme: Ketika Warganet Menjadi Hakim Pertama
2025 menampilkan tren baru, algoritma viral memiliki kekuatan lebih besar daripada prosedur hukum.
Kasus-kasus publik sering mengalami pola sebagai berikut:
1. Video viral,
2. Warganet menuduh,
3. Aparat ditekan untuk bertindak cepat,
4. Fakta baru muncul belakangan,
5. Narasi publik terlanjur terbentuk.
Fenomena ini harus menjadi renungan nasional.
Keadilan membutuhkan ketenangan, tetapi internet membenci ketenangan.
Ini tantangan serius bagi otoritas penegak hukum di era digital.
2025 Bukan Akhir, Melainkan Awal Pertarungan Baru
Tahun 2025 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada fase transisi yang menentukan. Kita sedang meninggalkan paradigma hukum lama, tetapi belum sepenuhnya memasuki paradigma baru.
Hukum kita membutuhkan nyali untuk membersihkan, integritas untuk menegakkan, konsistensi untuk melanjutkan, dan keberanian untuk berani tidak populer.
Karena pada akhirnya, negara ini tidak membutuhkan hukum yang indah di atas kertas. Ia membutuhkan hukum yang berani hidup di dunia nyata yang seringkali jauh lebih keras, lebih tidak adil, dan lebih penuh kepentingan.
Dan di titik itulah reformasi hukum diuji.
Bukan oleh pasal, tetapi oleh karakter bangsa.
Kenny Wiston
Praktisi Hukum

