Kontrak acuan CPO untuk pengiriman Februari di Bursa Malaysia Derivatives Exchange turun 33 ringgit, atau 0,81 persen, menjadi 4.060 ringgit (986,39 Dolar AS) per ton metrik, pada penutupan sesi tengah hari, Selasa 9 Desember 2025, menurut laporan Reuters.
“CPO berjangka berada di bawah tekanan jual, mengikuti pelemahan di Dalian dan menanti data MPOB besok yang diperkirakan menunjukkan kenaikan stok,” ujar seorang trader berbasis Kuala Lumpur.
Survei Reuters memperkirakan persediaan minyak sawit Malaysia pada November melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari enam setengah tahun, dipicu anjloknya ekspor di tengah peningkatan produksi bulanan yang mencapai rekor. Besarnya stok ini berpotensi menekan harga acuan di Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia.
Di bursa Dalian, kontrak minyak kedelai (soyoil) yang paling aktif turun 0,87 persen, sedangkan kontrak minyak sawit merosot 1,53 persen.
Harga soyoil di Chicago Board of Trade juga melemah 0,25 persen. Pergerakan harga CPO memang sering mengikuti minyak nabati pesaing karena bersaing di pasar internasional.
Nilai tukar ringgit Malaysia, mata uang utama dalam perdagangan CPO, turun 0,15 persen terhadap Dolar AS, sehingga membuat harga komoditas ini relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Sementara itu, pemerintah Indonesia berencana mewajibkan eksportir sumber daya alam untuk menahan seluruh pendapatan devisa di bank-bank BUMN selama minimal satu tahun dan membatasi penggunaannya mulai 1 Januari, menurut pejabat Kementerian Keuangan baru-baru ini.
Dari sisi teknikal, analis Reuters, Wang Tao, memproyeksikan harga CPO berpotensi melanjutkan pelemahan menuju 4.056 ringgit per ton metrik, dipengaruhi oleh pembentukan wave c.

