Maka lahirlah slogan di atas: Piye kabare, enak zamanku to?”, yang menandakan orang dianggap rindu kembali ke zaman Soeharto. Tentu saja slogan itu diusung pihak yang ingin mengembalikan kekuatan politik Soeharto. Ingin bangkit, tapi boleh dikatakan tak bisa bangkit lagi.
Entah berapa parpol yang pernah didirikan mengusung Soeharto sebagai simbol parpol, tapi tak pernah dapat dukungan signifikan dari Pemilu ke Pemilu pasca Orde Baru? Bahkan langsung dipimpin Tommy Soeharto dan Tutut Soeharto, tak ada yang berhasil lolos ke Senayan.
Ada kecenderungan, mengutip mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, slogan “piye kabare enak zamanku to?” itu akan dipakai lagi saat ini dan ke depan. Tapi, yang mengusung bukan lagi simbol Soeharto, tapi simbolnya Jokowi. Tentu polanya disesuaikan dengan zaman kini.
Kalau simbol Soeharto, yang ingin ditentang dari “piye kabare enak zamanku to?” ialah zaman itu sendiri, bukan orang per orang. Tapi kalau simbol Jokowi, maka siapa lagi yang ditentang kalau bukan Prabowo? Zaman jelas tidak. Karena, zaman dulu dan kini itu relatif sama saja.
Karena yang menangkap kecenderungan ini adalah Gatot Nurmantyo, maka bisa jadi akan dicap oleh pendukung Jokowi sebagai upaya buat memisahkan atau malah adu domba antara Jokowi dan Prabowo. Sebab, Gatot dinilai sakit hati dengan Jokowi.
Apalagi banyak momen yang bisa ditunjukkan bahwa antara Jokowi dan Prabowo itu dianggap dwi tunggal. Terakhir, pernyataan Prabowo sendiri, bawah dia dan Jokowi itu hopeng, sahabat lama dan setia. Meskipun ketidaksejalanan itu terlihat dalam banyak kasus juga.
Sebut saja kasus Bandara IMIP di Morowali. Atau yang lebih awal lagi kasus Pagar Laut. Terakhir soal bencana di Sumatera saat ini. Konsesi tambang yang gila-gilaan menyatu dengan eksploitasi hutan yang mengerikan. Terjadi 10 tahun lalu saja, atau sejak zaman Orde Baru?
Sesuai dengan bukunya Prabowo, situasi ini memang paradoks. Banyak orang ingin memisahkan Prabowo dan Jokowi, tapi Prabowo tak mau. Prabowo berpisah sendiri dalam kebijakan, tanpa menyalahkan Jokowi. Justru Prabowo kerap mengulangi melanjutkan Jokowi.
Pangkal soalnya, Prabowo kurang ramah terhadap para cukong–sebutlah begitu–sementara Jokowi di masanya sangat ramah pada para cukong. Masih ingat deretan pengusaha besar ke rumah Jokowi pasca menjabat, itu bisa diartikan ucapan terima kasih dan rencana depan?
Kasus pagar laut yang dibongkar, Pertamina, termasuk tambang sendiri, itu hakikatnya ancaman buat Prabowo juga. Mereka pasif saja itu sudah menyulitkan Prabowo, apalagi aktif. Peristiwa Agustus lalu dan bencana saat ini, alangkah merepotkan Prabowo. Ia seperti sendirian.
Tak ada peristiwa-peristiwa besar saja Prabowo habis diserang, apalagi kalau ada peristiwa besar seperti saat ini. Serangan akan bertambah berkali-kali lipat. Belum lagi yang datang dari sekitar Prabowo sendiri. Bunglon politik. Prabowo benar-benar berada di simpang jalan.
Ingat tulisan Dahlan Iskan di masa lalu bahwa Jokowi itu diuntungkan tidak saja oleh faktor manusia, tapi juga faktor alam. Sebaliknya, Prabowo termasuk SBY, dinilai kurang diuntungkan oleh faktor manusia, termasuk juga faktor alam. Tapi, itulah takdir yang tak bisa dielakkan.
Kalau “piye kabare enak zamanku to?” yang memakai simbol Soeharto terbukti gagal mengembalikan politik Soeharto, apakah hal yang sama juga terjadi kalau yang dipakai adalah simbol Jokowi? Entahlah.
Kompleksitas politik saat ini berbeda jauh. Saya sampai berpendapat, kalau Prabowo gagal, maka tak ada lagi pemimpin yang bisa menjadi Indonesia negara mandiri, maju, dan kuat.
Erizal
Direktur ABC Riset & Consulting

