Tiga polisi di Bogor dimutasi usai mempersulit korban dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membuat laporan. Komnas Perempuan memberikan saran agar peristiwa serupa tak terulang.
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan aparat penegak hukum harus memahami Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Dia mengatakan UU tersebut merupakan dasar polisi harus memproses laporan dugaan KDRT.
“Tindakan kepolisian untuk beri sanksi polisi tersebut, itu sebagai komitmen yang kita minta APH (aparat penegak hukum) memiliki kewajiban untuk penegakan hukum dan sanksi tersebut sebagai upaya untuk memastikan komitmen kepolisian di dalam menerima kasus-kasus KDRT, yaitu kita sudah punya Undang-Undang PDKRT dan itu menjadi dasar untuk memperoses laporan yang dilakukan korban,” kata Tiasri, Rabu (22/11/2023).
Tiasri mengatakan polisi harus memahami UU Penghapusan KDRT. Dia mengatakan pemahaman terhadap UU tersebut dapat mencegah peristiwa polisi mempersulit laporan dugaan KDRT terulang.
“Ini kan sebenarnya memasifkan implementasi UU berjalan dengan baik, salah satunya adalah polisi sebagai aparat penegak hukum, menjalankan fungsi dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan UU PKDRT,” katanya.
“Agar ini terimpelemntasi dengan baik, perlu penguatan kapasitas dan perspektif APH terhadap korban. Perspektif terhadap korban yang perlu diperkuat,” sambungnya.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyebut UU PKDRT melindungi korban dari berbagai latar belakang. Termasuk, korban KDRT dari pernikahan yang tidak tercatat seperti nikah siri.
“Perkawinan yang ada di Indonesia ada yang tidak tercatat seperti siri maupun adat dan UU PKDRT melindungi semua jenis perkawinan. Yang membedakan dalam penanganan kasus adalah pembuktiannya. Kalau perkawinan tercatat maka akta nikah, kalau belum tercatat keterangan keluarga, pemuka adat atau agama atau saksi yang menerangkan keduanya adalah suami istri bisa menjadi cara untuk membuktikan adanya relasi perkawinan,” katanya.
Duduk Perkara
Perkara dugaan ketidakprofesionalan polisi di Bogor ini berawal dari seorang wanita berusia 52 tahun di Parungpanjang diduga menjadi korban KDRT. Korban babak belur dipukul suaminya.
Kasus ini sempat viral di media sosial, disebutkan bahwa korban mendatangi Polsek Parungpanjang dalam kondisi babak belur setelah dipukuli suaminya.
Namun, korban yang saat itu didampingi sejumlah orang diminta pulang untuk membawa dokumen-dokumen, seperti KTP, kartu keluarga (KK), dan surat nikah. Saat itu korban tidak dapat membawa surat nikah karena sudah lebih dulu dibawa kabur oleh suaminya.
Disebutkan, ketua RT juga ikut datang ke polsek dan menjadi saksi atas penganiayaan korban. Tetapi petugas SPKT Polsek Parungpanjang tetap tak mau membuatkan laporan polisi (LP). Korban akhirnya mendatangi Unit PPA Polres Bogor dan diterima laporannya.
Kemudian kasus ini ditangani oleh Unit PPA Satreskrim Polres Bogor. Polisi menyelidiki aduan tersebut. Langkah penyelidikan awal, polisi mendatangi dan meminta keterangan kepada korban.