Jakarta –
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menangani lebih dari 3.300 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban online scam. Jumlah itu merupakan akumulasi sejak tahun 2020.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Judha Nugraha, mengatakan jumlah korban online scam terus mengalami peningkatan sejak tahun 2021. Jumlah kasus terus meningkat hingga 8 kali lipat.
“Sejak tahun 2020 hingga bulan terakhir ada lebih dari 3.300 warga negara kita yang jadi korban online scam dan selalu bertambah. Ini menjadi tantangan kita, lonjakan yang paling tinggi antara tahun 2021, 2022 dan sekarang,” kata Judha di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (20/12/2023).
Begitu pula perihal negara tujuannya yang terus merambah luas. Terbaru, korban tersebar di Uni Emirat Arab (UEA) dan beberapa negara lain, yaitu Myanmar, Vietnam, Thailand, hingga Laos.
“Ada 4 warga kita jadi korban di sana (UEA), sama bisnisnya adalah online scam,” ujarnya.
Judha menyampaikan, tren korban online scam saat ini berbeda dengan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seperti biasanya. Korbannya online scam kata Judha, didominasi oleh generasi Z, berasal dari keluarga kelas menengah, dan berasal dari kalangan berpendidikan.
“Biasanya terjadi TPPO untuk domestic sector. Korbannya perempuan, miskin, berasal dari keluarga lemah, dan remote island (pulau terpencil),” kata Judha.
Judha menyatakan adanya faktor pendorong yang memicu peningkatan kasus online scam. Salah satunya, tergiur tawaran kerja dengan gaji 1.000 sampai 1.200 USD tanpa kualifikasi keahlian tertentu.
“Dari sisi kami melihat bahwa begitu muda warga kita dibujuk rayu. (Ada tawaran kerja) nggak pakai persyaratan khusus langsung berangkat,” kata Judha.
Di sisi lain, Judha mengatakan, kendala lainnya yang dialami dalam menangani online scam yakni perusahaan-perusahaan online scam banyak berdiri di daerah konflik. Contonya di kawasan Myawaddy, Myanmar.
Karena daerah konflik, otoritas Myanmar tidak bisa masuk dan mendisiplinkan perusahaan tersebut. Myawaddy lanjut Judha, seolah menjadi safe haven bagi perusahaan-perusahaan ilegal online scam.
“Pull factor-nya perusahaan-perusahaan tersebut tidak terjamah oleh hukum karena ada di wilayah konflik. Isu ini sekarang bukan hanya untuk Indonesia saja karena korbannya sudah berasal dari 59 negara,” ungkap Judha.
Lebih lanjut, Judha menyampaikan, tidak semua korban online scam merupakan korban TPPO. Korban TPPO harus memenuhi tiga unsur sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketiga unsur tersebut adalah proses, cara, dan eksploitasi.
Faktanya, beberapa di antara korban justru menjadi pelaku perekrutan WNI, dan berkali-kali datang ke negara tempat perusahaan online scam berada karena tergiur gaji tinggi.
“Jadi dari 3.300 (lebih korban), sudah kita tolong, kita bantu kita fasilitasi pulang ke Indonesia, (namun) berangkat lagi ke luar negeri, bekerja lagi di jenis perusahaan serupa. Nah, ini bukan korban,” jelas Judha.
“Jadi konteksnya si pelaku scamming adalah WNI yang sebagian ada yang terindikasi TPPO, korban scamming sendiri adalah WNI,” lanjutnya.
(ond/dek)