Kali ini bukan “Kemarau”, ada “Hujan Badai” Siklon Tropis di Sumatera, menjelang akhir November. Air Bah, Banjir bandang (flash flood) yang datang tiba-tiba dan sangat merusak.
Itu mengingatkan tema mitos purba tentang banjir besar sebagai hukuman dewa, yang ada di banyak budaya dunia (Epos Gilgamesh, mitologi Yunani).
Perbedaan dengan Banjir, biasanya adalah dalam kecepatan dan kekuatan. Banjir Bandang, datang mendadak dengan kekuatan sangat besar, bukan hanya luapan sungai biasa. Sering dikaitkan dengan skala kehancuran yang masif, bahkan global dalam kisah mitos.
Ikon Pulau Samosir
Pernah ada di pulau Samosir, pulau vulkanik di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, yang terkenal karena keindahan alam dan budayanya.
Ada tulisan terbaca “RIMBA CIPTAAN” yang terbuat dari barisan ribuan pohon pinus. Diciptakan oleh Pasukan Tentara Siliwangi saat berada di Pulau Samosir.
Ditanam di lereng bukit di Pulau Samosir, seperti di area Tomok, Garoga, dan Tuktuk. Dulu sangat jelas terlihat dari Parapat, menjadi simbol visual yang ikonik bagi wisatawan yang datang ke Danau Toba.
Ikon Pulau Sumatera
Dari Rimba Ciptaan, yang berdiri tegak dari ribuan pohon pinus, juga hilang dimakan waktu, dan barangkali telah berubah menjadi bahan baku untuk pulp, sedikit demi sedikit. Kita kehilangan ikon Rimba Ciptaan di Pulau Samosir.
Juga dalam hitungan dasawarsa, mulai tumbuh ikon baru di Pulau Sumatera adalah penanaman secara masif, pohon sawit yang luas dan hal ini akan menjadi energi biofuel di masa depan.
Artinya hutan mulai terkikis dan hilang berubah menjadi hamparan raksasa perkebunan sawit.
Perkebunan sawit raksasa di bangun dengan melakukan penebangan pohon masif tentunya ada yang legal dan ilegal. Hal ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Kita akhirnya kehilangan hutan primer di Pulau Sumatera.
Data yang dirilis oleh World Population Review pada awal tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dalam daftar negara dengan tingkat deforestasi terparah secara global.
Data ini berdasar perubahan area hutan 1990-2020: Brazil: Negara ini kehilangan sekitar 356.787 mil persegi area hutan, atau setara dengan 15,67 persen dari total area hutannya.
Deforestasi Indonesia mencapai perubahan area hutan hingga 101.977 mil persegi, atau 22,28 persen dari total area hutan.
Republik Demokratik Kongo: Negara ini berada di urutan ketiga dengan kehilangan lebih dari 94.495 mil persegi area hutan (16,25 persen).
Angka ini menempatkan Deforestasi Indonesia sebagai isu lingkungan global yang segera harus segera ditata ulang mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Paradoks Manusia dan Lingkungan
Inilah paradok kita. Yang membuat kita begini adalah kekuasaan bagi segelintir orang yang bisa memberi izin-izin tanpa pengawasan.
Di samping itu, faktor kemiskinan menjadi pemicu yang membuat kesadaran terhadap lingkungan menjadi di titik terendah.
Padahal alam adalah milik manusia, bukan milik pemerintah. Kesadaran akan lingkungan merupakan tantangan bersama. Bukan hanya manusia, satwa hewan ikut terguncang.
Kerusakan lingkungan dan meningkatnya bencana bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari keputusan dan keserakahan manusia yang menumpuk selama bertahun-tahun.
Laszlo Krasznahorkai, Pemenang Nobel Sastra 2025 mengatakan bahwa, “Manusia tetap sama, berbahaya bagi dirinya sendiri”.
Menyelamatkan Nusantara
Kini sudah tiba saatnya menyelamatkan Nusantara. Pilihan manusia dan birokrasi sangat terbatas. Demikian juga dengan aparat dan polisi kehutanan.
Kekuasaan dan kemiskinan tetap merupakan kendala kedepan.Cakupan luasnya medan area sulit untuk dikendalikan.
Sebuah harapan hanya bisa didapat dari teknologi dan support infrastruktur. Drone sebagai teknologi kamera yang setia bisa menjadi sebuah kinerja pengawasan yang berguna ke depan.
Jika segera dikerjakan bukan hanya Pulau Samosir dan Pulau Sumatera. Namun seluruh pulau Nusantara. Saatnya teknologi bekerja untuk menyelamatkan hutan atau hutanku hilang dan takkan pernah tumbuh kembali.
*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78

