Sebelum menelaah pentingnya homebase, perlu dipahami terlebih dahulu definisinya. Secara umum, homebase merupakan status dosen tetap yang mengajar pada program studi tertentu di sebuah perguruan tinggi. Secara lebih sederhana, homebase dapat diartikan sebagai kampus utama tempat dosen melaksanakan Tri Dharma dan berbagai tugas penunjang lainnya. Dosen yang memiliki homebase umumnya berstatus dosen tetap, karena mereka terikat secara resmi pada institusi tersebut. Sebaliknya, dosen honorer, dosen tamu, maupun dosen luar biasa biasanya tidak memiliki homebase.
Kepemilikan homebase menjadi sangat penting bagi dosen karena memberikan berbagai keuntungan dan peluang dalam pengembangan karier. Inilah sebabnya banyak dosen berusaha memperoleh homebase dan memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan. Arti penting dari kepemilikan homebase tersebut bagi para dosen: (1) Menjadi Dosen Tetap: Arti penting homebase yang pertama bagi dosen adalah memberikan status kepegawaian sebagai pegawai tetap, alias dosen tetap. Jadi seperti definisi yang dipaparkan sebelumnya.
Istilah homebase mengacu pada status dosen yang sudah diangkat menjadi dosen tetap. Sehingga mengajar penuh waktu di sebuah perguruan tinggi dan fokus terhadap visi dan misi perguruan tinggi tersebut. Status tetap ini akan diikuti beberapa fasilitas yang disediakan oleh kampus selaku homebase dosen maupun dari pemerintah. Misalnya tempat mengajar, program studi yang jelas, mata kuliah yang jelas untuk diampu, karir yang jelas, dan sebagainya. Dosen yang sudah menjadi dosen tetap kemudian tidak gusar mengenai risiko kontrak tidak diperpanjang. Dosen kemudian tidak perlu pusing melamar ke kampus lain jika kontrak diputus. Sehingga suatu homebase memberi kemapanan posisi bagi dosen.
(2) Mendapatkan NIDN: Dosen bisa mendapatkan NIDN atau Nomor Induk Dosen Nasional. NIDN hanya bisa dimiliki oleh dosen tetap yang sudah memiliki homebase. Kepemilikan NIDN ini bisa mendapatkan berbagai fasilitas dan program dari kampus dan pemerintah. Misalnya menjadi syarat untuk ikut sertifikasi dosen, syarat naik jabatan fungsional, ikut program beasiswa S3, dan lain-lain. Kepemilikan NIDN membantu dosen untuk memiliki akun di sejumlah aplikasi yang dirilis Kemendikbud Ristek maupun Kemenag. Misalnya punya akun di SISTER yang membantu dosen memiliki portofolio online untuk pengembangan diri dan karir akademik. (3) Jenjang Karir Akademik: Dosen memiliki homebase dapat memiliki jenjang karir dalam bentuk jabatan fungsional dan jabatan struktural. Jabatan fungsional ini terbagi menjadi empat jenjang dimulai dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan kemudian Guru Besar (Profesor). Dosen yang jenjang karir akademiknya berkembang sudah membuktikan mampu menjadi dosen profesional.
Selain itu bisa memberi kontribusi terhadap institusi dan pendidikan nasional. Misalnya bisa meningkatkan nilai akreditasi institusi. Hasil penelitian dan publikasi dosen bisa meningkatkan jumlah publikasi ilmiah yang mendongkrak akademik branding pendidikan nasional di mata dunia. Hanya dosen yang memiliki NIDN dan homebase yang bisa memiliki jenjang karir akademik tersebut.
(4) Tugas Tambahan: Tugas tambahan adalah tugas yang diberikan kepada dosen untuk memangku jabatan struktural di perguruan tinggi tempatnya mengabdi. Jabatan struktural ini jenisnya banyak dan begitu juga dengan tingkatannya. Paling mudah dikenal adalah rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, ketua program studi, dan lain-lain. Hanya dosen tetap diakui perguruan tinggi sebagai dosen penuh waktu yang kemudian bisa memangku jabatan struktural. Amanah ini tentu menjadi bentuk prestasi dosen terhadap perjalanan karirnya.
(5) Menjadi Bagian dari Wajah Kampus Tempatnya Mengabdi. Dosen yang memiliki homebase kemudian akan menjadi penciri dari homebase tersebut. Apapun yang dilakukan dosen baik di dalam kampus maupun di luar kampus akan disangkut-pautkan dengan kampus tersebut. Dosen akan menjadi agen promosi dan agen pembelajaran yang ikut menentukan maju tidaknya kampus yang menjadi homebase-nya.
Akan lebih fokus berkarya menorehkan prestasi. Prestasi dosen adalah prestasi kampus yang menjadi homebase bagi dosen tersebut. Apa yang dilakukan kampus berdampak positif bagi dosen di dalamnya. Hubungan antara dosen dengan homebase kampus adalah simbiosis mutualisme dan saling melengkapi sekaligus tidak terpisahkan. (6). Mengembangkan Diri: Dosen memiliki homebase kampus memiliki kesempatan terus mengembangkan diri. Sebab kampus yang menjadi homebase dosen akan selalu memberi dukungan bagi dosen bisa berkembang.
Polemik Homebase Dosen
Polemik homebase dosen muncul karena ketidaksesuaian antara kebutuhan perguruan tinggi dan kepentingan dosen dalam memperoleh status sebagai dosen tetap pada suatu program studi. Meskipun homebase menjadi dasar pengakuan formal bagi dosen untuk melaksanakan Tri Dharma dan mengembangkan karier akademik, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penetapannya tidak selalu berjalan transparan, konsisten, atau adil. Masalah muncul dalam berbagai bentuk, antara lain ketidakjelasan kriteria penetapan homebase, dosen dipindahkan homebase tanpa pemberitahuan pada yang bersangkutan, adanya persaingan antar-dosen untuk memenuhi rasio dosen-mahasiswa pada akreditasi, beban kerja yang tidak merata, mobilitas dosen yang tinggi, hingga praktik administrasi yang menjadikan homebase sebagai alat kepentingan institusional.
Ketidakseimbangan ini memicu ketegangan antara dosen yang berstatus homebase dan yang tidak, serta menimbulkan dampak psikologis, profesional, dan etis di lingkungan akademik. Singkatnya polemik homebase dosen menggambarkan persoalan struktural dan manajerial di perguruan tinggi, yang membutuhkan kebijakan lebih transparan, standar nasional yang seragam, serta mekanisme penetapan yang berbasis kinerja dan kebutuhan akademik yang nyata.
Status BHMN dan Konflik Homebase
Dalam banyak kasus, BHMN dapat memperburuk konflik. Hal ini dapat terjadi bukan karena BHMN itu sendiri, tetapi karena kultur manajemen, standar rekrutmen, dan mekanisme penetapan homebase yang berubah secara signifikan ketika kampus berstatus badan hukum. Status BHMN dapat memperparah polemik homebase karena Perguruan tinggi BHMN memiliki otonomi rekrutmen dosen, kebebasan menetapkan standar homebase, dan kewenangan mengatur beban kerja dan penilaian.
Akibatnya proses penetapan homebase tidak jarang diberikan pada dosen tertentu yang dianggap strategis untuk akreditasi atau reputasi kampus. Fokus pada Akreditasi dan Ranking Kampus BHMN sangat menekankan: rasio dosen–mahasiswa, jumlah guru besar, publikasi, kinerja Tri Dharma. Hal ini membuat homebase dipandang sebagai alat strategis, bukan status profesional semata. Dampak negatifnya adalah Dosen hanya di-homebase-kan demi akreditasi, Pemindahan homebase menjelang akreditasi dan Dosen non-homebase dibebankan mengajar tanpa insentif tepat.
Kondisi lain adalah mobilitas dosen tinggi, terjadi tumpang tindih homebase. Namun, jika tata kelola kampus transparan dan berbasis kinerja yang objektif, status BHMN justru bisa mengurangi konflik karena ada aturan yang lebih jelas.
Di Tengah Maraknya Pembukaan Program Studi Baru
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi di Indonesia berlomba-lomba membuka program studi baru. Fenomena ini dipicu oleh kebutuhan pasar kerja, persaingan antar-kampus, serta dorongan untuk meningkatkan peringkat institusi. Namun di balik semangat ekspansi akademik tersebut, muncul persoalan serius yang jarang dibahas secara terbuka: polemik homebase dosen.
Pembukaan prodi baru yang tidak diikuti perencanaan sumber daya manusia justru menjadi salah satu akar konflik paling menonjol di lingkungan perguruan tinggi. Homebase merupakan identitas utama dosen dalam melaksanakan Tri Dharma dan menjalankan karier akademiknya. Status ini menentukan: beban kerja (BKD), hak kenaikan jabatan fungsional, kelayakan sertifikasi dosen, keterlibatan dalam akreditasi dan pengembangan prodi. Masalah muncul ketika pembukaan prodi baru membuat distribusi homebase menjadi tidak proporsional, bahkan cenderung dipolitisasi sesuai kebutuhan sesaat prodi atau institusi.
Prodi Baru: Antara Ambisi Pertumbuhan dan Minimnya SDM
Banyak kampus membuka prodi baru tanpa mempertimbangkan kesiapan dosen tetap yang memadai. Padahal regulasi mensyaratkan jumlah dosen homebase minimal dengan kualifikasi S2/S3 yang linear. Ketika jumlah dosen tetap terbatas, kampus kerap membagi-bagikan dosen untuk memenuhi syarat minimal pendirian prodi maupun akreditasi awal.
Akibatnya, dosen dipindahkan homebase tanpa diskusi yang jelas, dosen non-linear dipaksakan menjadi homebase, dan kericuhan muncul antara prodi lama dan prodi baru yang saling merebut dosen. Ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan mempengaruhi stabilitas psikologis, beban kerja, hingga integritas institusi.
Linearitas Keilmuan: Faktor Teknis yang Sering Diabaikan
Permasalahan linearitas menjadi isu krusial pada prodi baru. Banyak prodi tidak memiliki dosen dengan latar belakang pendidikan yang sepenuhnya linear, sehingga dosen dipinjam dari prodi lain. Praktik ini sering menimbulkan: temuan saat akreditasi, konflik antar-kaprodi, dan penurunan kualitas pembelajaran. Pada akhirnya akademisi ditempatkan dalam posisi sulit: antara memenuhi kebutuhan institusi atau mempertahankan integritas keilmuan.
Homebase Sebagai Alat Politik Kampus
Tidak dapat dipungkiri di sejumlah perguruan tinggi homebase sering dijadikan alat politik internal. Status ini bisa menjadi hadiah bagi dosen yang dianggap loyal atau hukuman halus dengan cara mencabut ataupun menahan homebase bagi dosen tertentu. Kehadiran prodi baru memperkuat kecenderungan ini karena kebutuhan dosen tetap menjadi lebih tinggi. Kondisi ini memperburuk iklim akademik yang seharusnya menjunjung transparansi dan meritokrasi.
Urgensi Reformasi Tata Kelola Homebase
Polemik ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jika perguruan tinggi terus membuka prodi baru tanpa penguatan SDM, kualitas pendidikan akan terancam. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan adalah: (1) Perencanaan SDM berbasis proyeksi jangka panjang, bukan sekadar mengejar akreditasi. (2) Penetapan homebase yang transparan, dengan kriteria objektif dan terbuka. (3) Penguatan kapasitas dosen, terutama dalam linearitas dan kompetensi bidang. (4) Sinkronisasi regulasi homebase dan BKD agar dosen tidak terbebani secara tidak proporsional. (5) Evaluasi akuntabel terhadap prodi-prodi baru, termasuk kelayakan dosennya sebelum pembukaan. Dengan langkah-langkah tersebut perguruan tinggi diharapkan akan dapat mengurangi ketidakpastian dan menciptakan lingkungan akademik yang sehat, adil, dan produktif.
Muzani
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta

