“Bencana yang melanda Sumatera merupakan peristiwa luar biasa yang tidak dapat dipandang sebagai kejadian tunggal. Melainkan muncul akibat interaksi berbagai faktor yang kompleks, terutama kondisi geologi yang aktif dan dinamis, dampak perubahan iklim global, serta tingkat kerusakan lingkungan yang signifikan,” katanya dalam keterangan dikutip redaksi di Jakarta, Rabu, 24 Desember 2025.
Secara geologis, menurut Dwikorita, Sumatera memiliki pegunungan curam dan rapuh yang berbatasan langsung dengan dataran rendah berupa kipas aluvial terbuka. Kondisi ini menciptakan tingkat kerentanan tinggi sekaligus medan yang sulit dijangkau, sehingga menyulitkan penanganan darurat.
Interaksi kondisi geologi tersebut dengan anomali cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan memicu terjadinya multi-bencana geo-hidrometeorologi secara beruntun. Bencana umumnya diawali longsor dan erosi, kemudian berkembang menjadi banjir bandang dan banjir besar.
“Dampaknya meluas hingga tiga provinsi dan puluhan daerah aliran sungai, dengan korban jiwa mencapai ribuan orang serta ratusan infrastruktur dan ribuan rumah rusak atau hilang,” ujar Dwikorita.
Namun ia menilai penanganan terhadap multi-bencana yang kompleks dan dinamis tersebut masih menggunakan pendekatan yang relatif biasa, yakni menggunakan pendekatan yang rutin dijalankan untuk bencana tunggal.
“Kita menghadapi ketidakseimbangan antara magnitude bencana yang besar, luas, kompleks, dan berulang dengan mekanisme penanganan yang masih biasa-biasa saja,” tegasnya.
Menurutnya, kapasitas penanganan bencana?”terutama pada fase tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi?”harus ditingkatkan berlipat dibandingkan kapasitas normal yang selama ini diterapkan.
Dwikorita menekankan pentingnya penerapan konsep Build Back Better dan berkelanjutan dengan target “zero victims” dan “zero loss and damage”, melalui pembangunan peradaban baru yang menjamin keselamatan kehidupan, penghidupan, dan lingkungan hidup.
Ia menegaskan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi harus dilakukan secara paralel dengan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan tanggap darurat, mengingat potensi bencana susulan masih sangat tinggi, terutama selama musim hujan.
Salah satu langkah mitigasi mendesak, kata dia, adalah mengurangi risiko banjir susulan dengan inspeksi menyeluruh di wilayah hulu DAS, khususnya untuk mengecek sisa endapan longsor, material rombakan, dan kayu yang berpotensi menyumbat alur sungai.
“Jika sumbatan alami ini jebol saat hujan lebat, banjir bandang bisa kembali terjadi dan menambah korban jiwa serta merusak infrastruktur yang sedang dibangun,” ujarnya.
Dalam jangka menengah, ia menyarankan pembangunan check dam berjenjang dari hulu hingga kaki gunung untuk mengendalikan volume dan kecepatan sedimen.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, Dwikorita menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh, pemetaan ulang zona bahaya, serta penataan ruang pascabencana berbasis hasil kajian lapangan dan pemodelan ilmiah.
Mengingat luas wilayah terdampak dan kompleksitas pemulihan, ia mengusulkan pembentukan badan khusus pemulihan pascabencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, mencontoh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pascatsunami 2005.
“Diperlukan kepemimpinan kuat serta sumber daya manusia yang cekatan, taktis, dan berpengalaman dalam penanganan bencana besar,” pungkasnya.

