Jakarta –
Sistem penggajian menjadi isu yang tidak ada habisnya di lingkungan ketenagakerjaan. Apalagi bila ada yang digaji lebih tinggi untuk level yang sama. Bagaimana seharusnya?
Berikut pertanyaan pembaca detik’s Advocate:
dear detik’s Advocate,
Perkenalkan saya Hesti, ingin konsultasi perihal saya bekerja sebagai staff operasional di salah satu RS swasta status PKWT. Setiap perbaruan kontrak tertulis gaji saya adalah gaji pokok+tunjangan, yang mana jika saya total menjadi senilai upah minimum.
Awalnya saya tidak masalah. Sampai di tahun ke 3 saya baru tahu kalau gaji rekan saya itu beda rinciannya. Jadi untuk rekan saya adalah upah minimum+ tunjangan. Dengan nilai akhir selisih 1 juta dengan gaji yang saya terima.
Apakah itu normal? Saya tidak dijelaskan skema rincian gaji yang berlaku saat tanda tangan kontrak. Saya merasa ditipu namun apakah memang kelirunya ada di saya atau bagaimana?
Mohon pencerahannya.
Terima kasih
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik’s Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Jus Pontoh, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Menjawab pertanyaan ibu Hesti terkait statusnya sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) di sebuah RS swasta yang menerima gaji pokok dan tunjangan yang bila dijumlahkan senilai upah minimum, tetapi ternyata diketahui bahwa gaji dan tunjangan rekannya lebih besar dengan selisih Rp 1 juta, dan ibu Hesti merasa ditipu. Bagaimana bila dinilai dari kacamata hukum apakah ada yang kekeliruan atau pelanggaran hukum?
Dapat saya jelaskan bahwa dalam hubungan kerja antara anda dengan pengusaha (pihak perusahaan) dalam bentuk PKWT atau yang lebih dikenal dengan status kontrak, dasar hukumnya secara umum adalah KUHPerdata khususnya Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Artinya apa yang sudah anda sepakati terkait isi atau klausul dalam perjanjian (PKWT) yang anda pahami dan anda tanda tangani, itu akan mengikat baik anda maupun pihak perusahaan sebagai para pihak dalam perjanjian PKWT tersebut. Kecuali bila perjanjian tersebut tidak sah sesuai isi pasal 1320 KUH Perdata yang mempersyaratkan 4 hal, yaitu adanya kesepakatan, para pihak adalah orang yang cakap secara hukum, menyangkut suatu hal tertentu dan sebab yang halal, selain itu dalam pasal 1321 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak sah apabila dibuat karena kekhilafan, dengan paksaan atau penipuan.
Sedangkan dasar hukum yang bersifat khusus (spesialis) terkait PKWT adalah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No 35 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Khususnya pada Bab II pasal 2 sampai pasal 17. Semua hal tentang PKWT diatur mulai dari bagaimana PKWT dibuat, jenis dan sifat pekerjaan, berapa lama maksimal PKWT, tidak boleh mensyaratkan masa percobaan, sampai kepada kompensasi PKWT.
Bila ketentuan yang diatur dalam PP 35 tersebut ada hal yang dilanggar maka PKWT yang anda tanda tangani bersama pihak perusahaan bermasalah secara hukum.
Walaupun dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Tetapi mengacu pada asas hukum yaitu “Lex specialis derogat legi generali” adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka isi perjanjian yang melanggar hukum yang baik yang bersifat umum maupun khusus (specialis) dapat dibatalkan atau batal demi hukum (pasal 1320 KUH Perdata).
Selain itu, suatu perjanjian dalam hal ini PKWT juga harus memenuhi syarat upah minimum sesuai ketentuan upah minimum yang berlaku di daerah di mana anda bekerja. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2023 mengatur tentang upah minimum sebagai jaring pengaman terkait nilai upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, pada pasal 24 disebutkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
Dari pertanyaan anda yang sangat terbatas penjelasannya, dapat saya jelaskan bahwa bila saat ini masa kerja anda di atas 1 tahun, maka seharusnya anda berhak menerima upah yang lebih besar dari upah minimum, karena sebagaimana penjelasan anda bahwa anda pernah melakukan perbaruan kontrak (mungkin maksudnya perpanjangan kontrak).
Dan bila ternyata masa kerja anda telah melebihi 1 tahun, ini berarti perusahaan telah melanggar ketentuan tentang upah minimum yang dari dulu baik regulasi lama sampai yang terbarupun mengatur bahwa upah minimum hanya untuk pekerja yang masa kerjanya di bawah 1 tahun.
Terkait perbedaan nilai upah, maka untuk menghindari terjadinya kecemburuan pekerja atas perbedaan upah pada pekerja dengan status dan jabatan yang sama, sebagaimana yang anda tanyakan di atas, pemerintah telah mengatur dalam PP nomor 51 tahun 2023 tersebut pasal 24 ayat 2 bahwa Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan skala upah, yang artinya bahwa perusahaan wajib membuat Struktur Upah dan Skala Upah yang dikenal dengan singkatan (SUSU) yang mengatur tentang range salary terkait berapa nilai upah yang dapat diterima oleh pekerja berdasarkan jabatan atau status hubungan kerjanya.
Dan bila kewajiban membuat Struktur dan Skala Upah (SUSU) tersebut tidak dibuat oleh perusahaan, itu juga adalah pelanggaran atas PP 51/2023.
Selanjutnya yang tidak anda jelaskan dalam pernyataan anda adalah bahwa setelah masa kontrak/PKWT atau sebelum perpanjangan PKWT, apakah anda telah menerima hak anda berupa kompensasi PKWT yaitu 1 bulan upah untuk masa PKWT 1 tahun, dan perhitungan proporsional bila masa PKWT selesai di bawah 1 tahun (misalnya 6 bulan) sebagaimana diatur dalam PP 35 tahun 2021 pasal 15,16 dan 17.
Jika anda belum menerima hak atas kompensasi dimaksud sedangkan anda telah melakukan perpanjangan PKWT dan bahkan mungkin telah menjalani masa PKWT yang kedua atau lebih, maka perusahaan dipastikan telah melanggar ketentuan PP 35 /2021 tersebut, dan dapat dikenakan sanksi sesuai pasal 61 ayat (1) PP 35/2021 yaitu (1) Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (1), Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, Pasal 29ayat (1) huruf b dan huruf c, Pasal 53, dan/atau Pasal 59 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha
Lalu bagaimana upaya hukum yang dapat anda lakukan untuk mendapatkan hak anda apabila perusahaan/pengusaha patut diduga telah melakukan penggaran hukum? Sebagaimana penjelasan kami yang dalam tanya jawab terdahulu, bahwa mekanisme yang tersedia untuk perselisihan hukum perburuhan adalah PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) sesuai Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. yang bisa dimulai dengan Proses Bipartit antara pekerja dengan pengusaha yang memungkinkan ada kesepakatan yang dituangkan dalam SPB (Surat Perjanjian Bersama).
Bila gagal dapat diajukan melalui Mediasi (perantaraan mediator dari Kantor Dinas tenaga Kerja setempat) sehubungan dengan perselisihan ini masuk dalam jenis perselisihan hak, seorang mediator dapat mendamaikan para pihak melalui kesepakatan yang dapat dituangkan dalam SPB (Surat Perjanjian Bersama), dan bila tidak ada kesepakatan, maka Mediator akan memberikan anjuran untuk para pihak, dan bila tetap tidak sepakat dengan anjuran, maka dapat diajukan gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga dapat memberikan pencerahan dan membantu ibu Hesti dalam memperjuangkan haknya sebagai pekerja.
Terima kasih.
Salam,
Jus Pontoh, S.H., M.H.
Advokat
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
|
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
(asp/HSF)