Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas menyatakan bahwa sanitasi merupakan public health priority in emergencies, karena kegagalan mengelola tinja sejak awal tanggap darurat akan secara langsung meningkatkan risiko wabah penyakit menular dan krisis kesehatan lingkungan yang dapat memperparah dampak bencana itu sendiri. Paparan tinja yang tidak terkelola dengan baik berkaitan langsung dengan meningkatnya risiko diare, penyakit saluran pencernaan, kolera, disentri, hingga hepatitis A, terutama di lingkungan pengungsian yang padat dan minim infrastruktur.
Rangkaian bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan persoalan yang sama. Banjir besar, banjir bandang, longsor, dan genangan berkepanjangan tidak hanya merusak rumah dan jalan, tetapi juga melumpuhkan sistem sanitasi masyarakat. Jamban terendam, septic tank rusak, dan sumber air bersih tercemar, sementara ribuan warga bertahan di pengungsian dengan fasilitas sanitasi yang sangat terbatas. Situasi ini menempatkan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan pada posisi yang sangat rentan, terutama ketika respons sanitasi tidak menjadi prioritas sejak awal.
Pengalaman Aceh sejak tsunami 26 Desember 2004 hingga bencana hidrometeorologi berulang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang konsisten. Ketika pengelolaan tinja tidak ditangani secara cepat dan sistematis, ancaman wabah pascabencana menjadi nyata. Laporan dan kajian kesehatan pascabencana mencatat peningkatan penyakit berbasis sanitasi dan makanan, sebuah peringatan keras bahwa krisis kesehatan sering kali muncul bukan pada saat bencana terjadi, melainkan setelahnya, ketika perhatian mulai beralih ke isu lain.
Masalah ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sanitasi darurat, khususnya pengelolaan tinja, bukan sekadar urusan teknis lapangan, melainkan bagian inti dari perlindungan kesehatan masyarakat dan pencegahan krisis kesehatan lingkungan. Tanpa kepemimpinan kebijakan yang tegas dan koordinasi lintas sektor, upaya tanggap darurat berisiko meninggalkan celah besar bagi munculnya wabah.
Padahal, Indonesia tidak kekurangan solusi teknis. Berbagai model sanitasi darurat telah tersedia dan dikenal, mulai dari jamban darurat, toilet portable, bio-toilet, hingga jamban komunal dengan tangki septik sementara. Namun tanpa penempatan sanitasi sebagai prioritas utama dalam kebijakan tanggap darurat BNPB dan BPBD, fasilitas tersebut sering dibangun terlambat, jumlahnya tidak memadai, atau tidak disertai sistem pengelolaan lumpur tinja yang aman. WHO dalam Guidelines on Sanitation and Health menekankan bahwa pengelolaan sanitasi harus mencakup seluruh rantai, dari sumber tinja hingga pembuangan akhir, agar tidak mencemari air, tanah, dan lingkungan.
Ketika tinja tidak dikelola dengan benar di kawasan bencana, dampaknya berlapis dan sistemik. Air tanah tercemar, sungai berubah menjadi media penyebaran patogen, dan pengungsi?”terutama anak-anak?”menjadi kelompok paling rentan. Ironisnya, masyarakat sering terpaksa kembali pada praktik buang air besar sembarangan, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena negara belum hadir secara memadai menyediakan alternatif yang layak, aman, dan manusiawi. Kondisi ini kembali terlihat dalam bencana-bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Lebih jauh, pengelolaan tinja juga menyangkut martabat dan keadilan sosial. Fasilitas sanitasi yang tidak aman, tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, tanpa penerangan, atau tidak ramah difabel merupakan bentuk pengabaian terhadap hak dasar warga terdampak bencana. Dalam situasi trauma dan kehilangan, sanitasi yang layak menjadi bagian penting dari pemulihan psikologis dan rasa aman masyarakat.
Karena itu, pengelolaan tinja harus ditempatkan sebagai prioritas sejak hari pertama tanggap darurat, setara dengan evakuasi, pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Pemerintah pusat dan daerah, bersama BNPB dan BPBD, perlu memastikan bahwa sanitasi darurat menjadi komponen inti dalam kebijakan, perencanaan kontinjensi, dan operasi lapangan. Kehadiran tim sanitarian yang bergerak bersamaan dengan tim evakuasi dan logistik harus menjadi standar, bukan pengecualian.
Bencana memang tidak dapat dihindari, sebagaimana yang terus dialami Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Namun krisis kesehatan masyarakat dan kerusakan kesehatan lingkungan pascabencana seharusnya bisa dicegah. Mengelola tinja dengan benar bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan pernyataan sikap negara: bahwa bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun, negara hadir untuk melindungi kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan warganya.
*) Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Nasional IA-ITB, Mahasiswa Magister Medkom Komunikasi Krisis UP.

