Jakarta –
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, mempertanyakan kepada ahli soal peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembentukan RUU Kesehatan. Hal itu disampaikan dalam sidang uji UU Kesehatan.
“Nah ini tolong ahli jelaskan, katanya hal terpenting adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Nah, tolong Ahli jelaskan. Tadi ada pengakuan dari Pemerintah, tidak ada pertimbangan DPD itu. Silakan,” kata Saldi Isra dalam sidang yang tertuang dalam risalah sidang MK, Selasa (23/1/2024).
Menjawab pertanyaan itu, ahli Djohermansyah Djohan menyatakan, bila DPD tidak diikutsertakan, bisa disebut pemerintah telah mengabaikan putusan MK.
“Ya, jadi kalau dikaitkan dengan putusan MK tadi, Yang Mulia, bisa kita katakan pemerintah abai, Pemerintah lalai karena kewajiban itu tidak dipenuhinya. Putusan MK padahal secara nyata meminta Pemerintah untuk wajib memberikan pertimbangan yang terkait dengan hal-hal yang bidang APBN atau pendidikan, pajak, dan sebagainya,” jawab Djohermansyah Djohan.
Oleh sebab itu, Djohermansyah Djohan menilai DPD harus dilibatkan dalam pembentukan UU yang berakibat langsung ke daerah.
“Bahwa seyogianya kalau niat baik untuk menyusun Undang-Undang yang ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan otonomi daerah, mengapa kok tidak di pertimbangan pun tidak diberi ruang? Apalagi membahas. Saya kira jelas tadi kalau membahas kan ikut serta, biasanya DPD ikut dari tahap-tahapannya,” tegas Djohermansyah Djohan.
Ketua MK Suhartoyo meminta soal dampak UU Kesehatan terhadap pihak-pihak terkait. Salah satunya dari Ketua Umum Organisasi Profesi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia.
“Ya, dampak itu berakibat terhadap kurang-lebih 12.000-an tenaga teknis kefarmasian yang berkualifikasi sebagai sarjana farmasi tidak lagi bisa memperoleh surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian atau tenaga vokasi farmasi karena tidak lagi diterima dalam sistem aplikasinya,” ucap Budi Djanu Purwanto.
Sidang akan dilanjutkan pada 25 Januari 2024.
Sebagaimana diketahui, gugatan itu dilayangkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Kelima penggugat bernaung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan. Mereka bersikukuh meminta MK membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. IDI dkk meyakini UU tersebut melanggar syarat formil. IDI dkk memberikan kuasa hukum kepada Muhammad Joni.
Joni mengatakan perbaikan pada uraian dalam alasan mengenai cacat formil karena tidak melibatkan DPD. Kemudian, mendefinisikan kembali makna otonomi daerah dan pendidikan, serta penjelasan tentang pentingnya meaningful participation dalam pembuatan norma undang-undang.
“Sehingga para pemohon telah menyempurnakan petitum, yakni permohonan pengujian formil UU Kesehatan dalam tenggang waktu yang sah sesuai ketentuan yang berlaku, UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sesuai UUD 1945, dan UU Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Joni.
(asp/HSF)