Pandangan ini dipaparkan Indonesia Police Watch (IPW) dalam bingkai catatan akhir tahun 2025 di Jakarta, Senin, 29 Desember 2025. Sepanjang tahun 2025, IPW mencermati ada kecenderungan gelar perkara khusus digunakan untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan perkara pidana yang telah memiliki dua alat bukti cukup dan sebaliknya, melanjutkan perkara yang tidak didukung kecukupan alat bukti.
”Forum gelar perkara khusus berpotensi dijadikan komoditas. Ada kepentingan agar arah penanganan perkara bisa diubah sesuai pesanan pihak yang berkepentingan,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, Senin, 29 Desember 2025.
IPW menduga ada oknum perwira di Biro Wassidik Bareskrim Polri menjadi pintu masuk praktik perdagangan gelar perkara khusus. Modus yang digunakan antara lain memanipulasi fakta, menyembunyikan fakta, menghilangkan fakta, melakukan tekanan psikologis terhadap tim penyidik, hingga mengubah arah kebenaran perkara.
”Tekanan psikologis itu bertujuan menjatuhkan moril penyidik agar bersikap kompromis dan bersedia mengubah arah kebenaran perkara. Bahkan, rekomendasi dan kesimpulan gelar perkara khusus diduga telah disiapkan sebelum gelar perkara berlangsung,” jelas Sugeng.
Jika benar, maka dugaan permufakatan jahat dalam gelar perkara khusus adalah bentuk penyalahgunaan wewenang individual yang telah lama dikeluhkan masyarakat pencari keadilan.
Dalam catatan tersebut, IPW mengutip pernyataan anggota Komisi III DPR Irjen Pol (Purn) Safaruddin yang menyebut penegakan hukum di Polri kerap diwarnai penyimpangan.
”Masalah lidik (penyelidikan) menjadi sidik (penyidikan), di situ ujung-ujungnya duit,” demikian kata Sugeng mengutip pernyataan Safaruddin saat Rapat Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis, 4 Desember 2025 silam.
Data IPW, periode triwulan II 2024 (April-Juni) ada 1.289 pengaduan masyarakat dengan dumas riil sebanyak 933 perkara di Biro Wassidik Bareskrim Polri.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.001 perkara ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Perintah Pengawasan (Sprin Was), 846 perkara ditindaklanjuti dengan permintaan Laporan Kemajuan (Lapju), 998 perkara sampai Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D), gelar perkara khusus sebanyak 32 perkara, supervisi 7 perkara, dan pelimpahan 3 perkara.
”Artinya, hanya sekitar 3,5 persen dari 933 perkara yang diatensi melalui gelar perkara khusus. Fakta ini menunjukkan gelar perkara khusus sangat rawan disimpangkan dan menjadi komoditas bernilai mahal, terutama untuk perkara yang berkaitan dengan sengketa perusahaan pertambangan,” pungkas Sugeng.

