Jakarta –
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 tetap di angka 34. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan angka tersebut menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak memiliki kontribusi dalam pemberantasan korupsi di masa jabatannya yang hampir dua periode.
“Fakta ini menegaskan bahwa selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran yang signifikan,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (30/1/2024).
Kurnia menyebut ICW telah menganalisis faktor yang membuat IPK tak mengalami peningkatan, salah satunya Jokowi yang dinilai terlalu sibuk “cawe-cawe” di dunia politik. Jokowi juga dinilai mengabaikan KPK yang disebut kinerjanya menurun.
“Jadi, setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan, Presiden harus mengambil tindakan. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dikerjakan. Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir,” katanya.
Kemudian, ICW mencatat bahwa UU Pemasyarakatan (UU PAS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga melemahkan pemberantasan korupsi. Hal ini, katanya, dikarenakan substansi UU PAS melonggarkan aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
“Akibatnya, para terpidana korupsi dapat lebih cepat menjalani masa pemidanaan, seperti Pinangki Sirna Malasari, Wahyu Setiawan, atau Nur Alam. Sedangkan KUHP, hukuman penjaranya justru lebih ringan ketimbang UU Tipikor,” kata Kurnia.
Keempat, komitmen pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum dinilai semakin rendah. Sebut saja KPK, katanya, di tahun 2023 menjadi periode terburuk sepanjang sejarah karena Ketua KPK Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi oleh Polda Metro Jaya.
“Belum lagi ditambah problematika internal, baik dugaan pelanggaran kode etik maupun korupsi berjamaah puluhan pegawai KPK di rumah tahanannya sendiri. Selain itu, kepolisian dan kejaksaan juga memperlihatkan gejala yang hampir serupa. Betapa tidak, beberapa bulan lalu dua lembaga penegak hukum itu kompak menunda proses hukum yang melibatkan peserta pemilu karena khawatir dipolitisasi,” ujar Kurnia.
Kemudian, kelima, lembaga kekuasaan kehakiman dinilai masih belum berorientasi pada pemberian efek jera saat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi. Sepanjang tahun 2023, ada beberapa putusan janggal yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung (MA), di antaranyamantan Hakim Agung Gazalba Saleh, divonis bebas pada tingkat kasasi.
“Keenam, di penghujung kepemimpinan Presiden Jokowi, praktik lancung berupa konflik kepentingan pejabat publik bukan hanya ditolerir, tapi seakan dianjurkan. Kepada anggota kabinetnya sendiri saja, ia justru mengambil kebijakan yang memungkinkan menteri-menterinya turut serta pada Pemilu 2024 tanpa harus mengundurkan diri,” ucap Kurnia.
Ketujuh, tercatat sudah ada 6 menteri dan 1 wakil menteri tersandung kasus korupsi, yakni, Juliari P Batubara (Menteri Sosial), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Idrus Marham (Menteri Sosial), Johnny G Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Eddy OS Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Jumlah ini katanya terbilang paling banyak jika dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelumnya.
Sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia berada di angka 34 pada 2023. Skor CPI Indonesia itu tak berubah jika dibandingkan pada 2022.
Dilihat dari situs Transparency International, Selasa (30/1), Indonesia berada di peringkat ke-115 bersama Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki.
(azh/eva)