Selama Orde Baru, ditambah satu kali di Era Reformasi, setidaknya sudah enam periode, Pilkada lewat DPRD pernah diterapkan.
Tidak saja lebih efisien, tapi juga lebih efektif. Pilihan rakyat sudah diwakilkan pada elitenya.
Wacana kembali ke Pilkada lewat DPRD bukanlah wacana baru. Bahkan di ujung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY tahun 2014, UU Pilkadanya sudah disahkan. Oleh SBY, UU Pilkada itu ditorpedo, dibatalkan lewat Perppu.
Makanya Demokrat, kiranya tak akan menyetujui Pilkada lewat DPRD itu. Kali ini Demokrat akan sejalan dengan PDIP. PDIP sudah terang-terangan menolak rencana Pilkada lewat DPRD itu. Tersisa PKS.
PKS kiranya juga tak akan setuju dengan rencana Pilkada lewat DPRD itu.
Sebagai partai yang solid, mesin partainya diakui, PKS dirugikan dengan Pilkada lewat DPRD itu. Kader PKS sulit menjadi kepala daerah.
Pilkada lewat DPRD istilahnya saja yang efisien dan efektif. Tapi tetap pakai uang. Uangnya lebih jelas lagi. Yang tak punya uang, jangan berharap menjadi kepala daerah. Kader PKS jarang yang punya uang banyak.
Kepala daerah akan dikuasai partai-partai besar. Akan dibagi seperti memotong kue di atas meja.
Partai-partai kecil jangan berharap. Apalagi partai kecil yang tak ada kursi di DPR. Memang, akan lebih efisien dan efektif.
Kalau tingkat kepercayaan rakyat terhadap elite partai tinggi, maka ada kemungkinan Pilkada lewat DPRD itu akan lolos.
Tapi kalau masih seperti saat ini, maka wacana itu tak akan lolos. Rakyat tak akan menyetujui.
Sedang dipilih rakyat saja banyak sekali kepala daerah yang tak peduli dengan rakyatnya.
Apalagi dipilih oleh sesama mereka saja. Maka jarak itu akan makin jauh. Rakyat jalan ke timur, Kepala daerahnya berlari ke barat. Begitulah.
Erizal
Direktur ABC Riset & Consulting

