“Peningkatan emisi gas rumah kaca, degradasi kualitas udara, serta meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologis menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat dan terintegrasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim,” tegasnya.
Karena itu, Eddy menegaskan bahwa tahun 2026 harus menjadi titik balik kebijakan nasional dengan menempatkannya sebagai tahun mitigasi perubahan iklim yang ditopang oleh penguatan regulasi.
“Dalam hal ini yang terus kami perjuangkan adalah percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum utama bagi agenda mitigasi dan adaptasi di Indonesia,” tegasnya.
Dalam konteks mitigasi, Wakil Ketua Umum PAN itu menekankan masih dominannya penggunaan energi fosil menyebabkan hambatan dalam penurunan emisi yang berpotensi meningkatkan eskalasi risiko iklim.
Selain itu, target bauran energi terbarukan sebesar 14-15 persen saat ini perlu dipacu lebih kencang lagi sesuai agenda Presiden Prabowo yang menargetkan Indonesia mencapai Net Zero Emission sebelum tahun 2060.
“Komitmen dan semangat besar Presiden perlu diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang kohesif, perumusan regulasi dan penguatan kelembagaan untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan,” lanjutnya.
Sejalan dengan itu, dia menekankan urgensi percepatan pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai instrumen kunci untuk mengintegrasikan agenda mitigasi dan adaptasi secara nasional.
Menurutnya, keberadaan undang-undang khusus perubahan iklim akan memberikan kepastian arah kebijakan jangka panjang mitigasi iklim serta memperkuat akuntabilitas negara dalam memenuhi komitmen penurunan emisi.
“Substansi RUU ini juga berupaya memastikan bahwa agenda adaptasi seperti perlindungan kelompok rentan, ketahanan wilayah, dan penguatan kapasitas daerah bisa diimplementasikan,” pungkasnya.

