Menurut Direktur Eksekutif ToBe Institute, Mochamad Imamudinussalam, anggapan bahwa pemberian gelar pahlawan merupakan bentuk pemutihan sejarah atau legitimasi politik sangat tidak tepat.
“Gelar pahlawan bukan penghapus dosa sejarah, tapi pengakuan atas jasa besar yang telah memberi arah bagi perjalanan Indonesia. Kalau standar penilaian kita adalah kesempurnaan moral, maka tak seorang pun akan layak disebut pahlawan,” ucap Imam dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu, 9 November 2025.
Lanjut dia, soal pelanggaran HAM pada masa lalu tetap harus dijadikan pelajaran sejarah, namun hal itu tidak serta-merta menghapus jasa besar seorang tokoh terhadap bangsa.
“Kita tidak bisa menulis ulang sejarah dengan menghapus kontribusi yang terbukti mengangkat Indonesia dari krisis menuju stabilitas. Apalagi beliau (Soeharto) adalah Presiden kedua RI,” ungkap dia.
Terkait tudingan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di masa Orde Baru, ia menilai hal itu merupakan fenomena struktural yang juga terjadi di banyak negara berkembang.
Di balik kekurangan tersebut, kata Imam, terdapat capaian luar biasa yang membentuk fondasi kemajuan bangsa hingga hari ini.
“Program seperti swasembada pangan, pembangunan infrastruktur desa, peningkatan kesejahteraan petani, hingga kebijakan ekonomi yang pro-rakyat. Kita tidak boleh menutup mata,” jelasnya.
Selain itu, Imam mengingatkan pentingnya melihat sejarah secara adil dan dewasa.
“Mengakui jasa bukan berarti melupakan luka. Kita harus belajar menimbang sejarah dengan sikap dewasa: menghargai kontribusi tanpa menghapus kritik, dan mengingat penderitaan tanpa menolak prestasi. Bangsa besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya secara utuh,” pungkasnya.

