Koordinator Pusat Senat Mahasiswa PTKIN Seluruh Indonesia, Farhan Mubina menegaskan bahwa penilaian terhadap Soeharto harus dilakukan dengan pendekatan akademik yang berimbang, berbasis data, dan berani mengakui kompleksitas sejarah.
“Sejarah tidak sesederhana membagi antara pahlawan dan penjahat. Soeharto adalah figur yang di satu sisi membawa stabilitas, pembangunan, dan kemajuan ekonomi, namun di sisi lain juga meninggalkan luka sosial dan politik yang mendalam bagi bangsa,” ujar Farhan dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu, 9 November 2025.
Ia menilai bahwa mengakui sisi kelam kepemimpinan Soeharto tidak seharusnya menghapus penghargaan terhadap jasa-jasanya.
Farhan pun menjelaskan kejujuran intelektual menuntut generasi muda untuk menilai sejarah secara utuh, tidak dengan glorifikasi dan tidak dengan kebencian.
“Sebagai generasi muda, saya tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM, represi politik, dan praktik korupsi yang terjadi di masa Orde Baru. Itu adalah bagian dari luka bangsa yang harus diingat. Namun, menafikan seluruh kontribusi Soeharto terhadap pembangunan nasional juga bentuk ketidakadilan sejarah,” bebernya.
Berdasarkan data Bank Dunia (World Development Indicators, 1998), selama masa pemerintahan Soeharto (1966–1998), Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 7 persen per tahun, dengan tingkat kemiskinan yang turun dari sekitar 60 persen pada awal 1970-an menjadi 11 persen pada 1996.
Selain itu, angka harapan hidup meningkat dari 47 tahun menjadi 66 tahun, dan rasio partisipasi sekolah dasar melonjak dari 69 persen menjadi 96 persen.
Farhan juga mengutip riset Thee Kian Wie (2003) yang mencatat bahwa pembangunan industri dasar, swasembada pangan, serta ekspansi pendidikan dasar di era Orde Baru menjadi fondasi utama bagi struktur ekonomi nasional modern.
“Ini bukan angka kecil. Soeharto adalah arsitek pembangunan yang berhasil mengangkat jutaan rakyat keluar dari kemiskinan. Kita tidak dapat menulis sejarah ekonomi Indonesia tanpa menyebut namanya,” ujar Farhan.
Namun, Farhan menegaskan bahwa pengakuan terhadap jasa tersebut tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan tanggung jawab moral dan sejarah. Ia berpandangan, pemberian gelar pahlawan nasional harus dibarengi dengan kesadaran reflektif, bahwa di balik pembangunan besar terdapat korban yang juga perlu diingat.
“Mengakui jasa tidak berarti membenarkan kesalahan. Justru bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghargai kontribusi sambil tetap belajar dari masa lalu,” tambahnya.
Menurut Farhan, langkah pemerintah yang melibatkan kajian multidisipliner dan partisipasi publik dalam menilai usulan gelar tersebut merupakan proses yang tepat.
Penilaian yang dilakukan secara ilmiah dan transparan akan memperkuat legitimasi moral dari keputusan apapun yang diambil.
Ia menilai bahwa Soeharto layak dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional, bukan karena tanpa cela, melainkan karena dampak positifnya terhadap arah pembangunan dan stabilitas bangsa yang dirasakan hingga kini.
“Soeharto adalah bagian integral dari perjalanan bangsa ini, pahlawan dengan catatan sejarah yang kompleks. Ia bukan figur sempurna, tetapi jasa-jasanya terhadap bangsa tidak bisa dihapus oleh kesalahannya,” tandas Farhan.

