Setiap tahun anggaran lingkungan hidup DKI Jakarta naik. Pajak warga terus dipungut. Dana kebersihan ditarik dari kantong masyarakat. Tapi hasilnya nihil. Kolong tol di Tanjung Priok menjadi tempat pembuangan liar yang lebih parah dari TPA ilegal. Ini bukan masalah dana, ini kegagalan total manajemen dan pengawasan.
DLH DKI, Kasudin Jakarta Utara, hingga Satpel di tingkat kecamatan tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan klasik seperti keterbatasan lahan, perilaku warga, atau tekanan anggaran. Masalah ini bukan baru.
Sejak 2019 media sudah memberitakan tumpukan sampah yang sama di lokasi yang sama. Artinya, pemerintah tahu tapi tidak bertindak. Mereka tidak kekurangan informasi atau anggaran. Mereka kekurangan kemauan dan tanggung jawab.
Kolong tol adalah wilayah publik yang berada di bawah otoritas negara. Jika pemerintah tidak mampu menjaga kebersihan satu titik wilayah di bawah tanggung jawabnya sendiri, maka tidak ada dasar moral untuk berbicara soal pengelolaan lingkungan perkotaan. Mereka gagal menjalankan fungsi dasar pemerintahan: memastikan ruang publik bersih dan layak huni. Sistem pengawasan, komando, dan kontrol birokrasi mereka lumpuh.
Setiap tahun DLH mengajukan anggaran ratusan miliar untuk operasional, BBM, alat berat, dan pemeliharaan fasilitas. Tapi untuk membersihkan satu kolong tol pun mereka gagal. Laporan mereka selalu menunjukkan penyerapan anggaran tinggi, tapi hasilnya tidak terlihat. Birokrasi ini hanya aktif di dokumen, tapi mati di lapangan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta harus dicopot. Kasudin Lingkungan Hidup Jakarta Utara harus diperiksa. Semua pejabat dan petugas yang bertanggung jawab terhadap wilayah itu harus dievaluasi total. Tidak ada alasan untuk mempertahankan pejabat yang gagal melaksanakan tugas dasar selama bertahun-tahun.
Pemerintah tidak perlu membentuk tim, rapat koordinasi, atau membuat surat edaran. Yang dibutuhkan hanya tindakan disipliner dan pembersihan sistem. Jika Gubernur dan DPRD tidak berani bertindak, maka mereka ikut bertanggung jawab atas kegagalan ini.
Pemerintah DKI harus berhenti menggunakan alasan “keterbatasan fiskal” atau “optimalisasi sumber daya”. Anggaran mereka cukup besar. Setiap tahun rakyat membayar pajak untuk kebersihan, tapi uang itu tidak kembali dalam bentuk pelayanan. Jika mereka bisa mengalokasikan ratusan miliar untuk membangun kantor dinas dan proyek administratif lain, tidak ada alasan untuk tidak menurunkan truk sampah ke kolong tol yang busuk itu.
Situasi ini tidak memerlukan seminar atau kampanye perilaku. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata. Turunkan alat, bersihkan area, buat pengawasan tetap, dan tindak tegas siapa pun yang lalai.
Gunung sampah itu bukan kesalahan warga. Itu akibat langsung dari kelalaian pemerintah. Ketika rakyat hidup di tengah bau busuk selama bertahun-tahun dan pejabat masih sibuk beretorika, maka yang rusak bukan hanya lingkungan, tapi juga moral penyelenggara negara.
Setiap pejabat yang terlibat dalam rantai kelalaian ini harus dihadapkan pada konsekuensi jabatan dan hukum. Tidak ada yang pantas dipertahankan dari sistem penanganan sampah yang terancam gagal total.
Luqman Hakim
Co-Founder Lingkar Study Data dan Informasi

