Jakarta –
Hakim konstitusi M Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda mengenai putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan lima orang ibu mengenai frasa ‘Barang Siapa’ dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP. Hakim Guntur menahan tangis karena menilai gugatan lima orang ibu ini seharusnya dikabulkan sebagian.
“Saya hakim konstitusi M Guntur Hamzah berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Guntur saat membacakan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang MK, Kamis (26/9/2024).
Guntur terlihat menahan tangisnya. Dia sesekali memegang dadanya ketika menahan tangis, sempat terjeda beberapa detik, hingga kemudian dia kembali membacakan pendapatnya. Suaranya bergetar ketika membacakan pertimbangan dissenting opinion.
“Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang ‘terpaksa’ harus berpisah dengan ‘buah hatinya’ yang masih di bawah umur karena rebutan hak mengasuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dari ibu kandungnya. Lebih sedih lagi dalam perkara a quo mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum padahal dalam beberapa perkara lainnya, yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu dalam ruang terbatas ini, Mahkamah tampak melangkah maju mengambil sikap, bahkan dalam banyak hal terlihat progresif menunjujkan sikap konstruktifnya,” kata Guntur.
“Namun sekali lagi, dalam perkara a quo mahkamah tidak menunjukkan hal tersebut dan cenderung membatasi diri-quad non-, sehingga kegamangan aparat penegak hukum dalam menyikapi duka para ibu-ibu yang terlepas dari anak kandungnya yang masih di bawah umur foressa terus berlangsung. Meskipun demikian, saya menaruh harapan agar kiranya Mahkamah dalam putusan a quo berkenan men-deliver semangat keberpihakan kepada ibu kandung untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur,” imbuhnya.
Guntur menilai hak asuh anak seharusnya jatuh kepada ibu kandungnya. Dalam dissenting opinion ini, dia juga mengutip sejumlah kisah Nabi Muhammad SAW tentang kemuliaan ibu, yang mana kisah itu mengingatkan agar ibu lebih memuliakan ibunya dibanding ayahnya.
Meski begitu, Guntur berpandangan seorang ayah bisa mendapat hak asuh. Apabila dua syarat tidak dipenuhi sang ibu.
“Kendati demikian penguasaan atau pengawasan terhadap anak di bawah umur ini dapat dikesampingkan apabila ibu kandungnya antara lain; Pertama, ibu tidak cakap, baik karena kehilangan ingatan, sakit jiwa, maupun yang berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani anak. Kedua, penelantaran anak. Hanya dengan kedua alasan itulah ayah kandung dapat menarik penguasaan dan pengawasan anak kandung yang tentunya harus menarik prosedur yang sesuai dengan hukum misalnya dengan putusan pengadilan. Sebelum ada putusan pengadilan, maka demi hukum anak di bawah umur harus dipandang di bawah penguasaan atau pengawasan ibu kandungnya,” ucap Guntur.
Guntur berpandangan ada ketidakadilan dalam permohonan ini. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi bisa menyelesaikan ketidakadilan ini apabila mengabulkan sebagian permohonan penggugat.
“Oleh karena itu, dalam kacamata sense of justice saya dalam perkara a quo sesungguhnya terdapat problem ketidakadilan injustice, dalam perkara a quo sesungguhnya terdapat problem ketidakadilan injustice yang secara nyata dan terang benderang pula nampak di depan mata yang seharusnya dapat diselesaikan oleh Mahkamah,” katanya.
Dia pun menyampaikan pendapatnya mengenai frasa ‘Barang Siapa’ dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP. Berikut pandangannya:
1. Bahwa norma a quo dalam konteks praksis lebih merupakan persoalan implementasi norma yang dapat dimaknai terhadap ayah kandung tanpa dikecualikan dari frasa ‘barang siapa’, sehingga ayah kandung dapat dikenai tindakan polisionil atau tuduhan tindak pidana.
2. Bahwa norma a quo dalam konteks sense of justice, tindakan ayah kandung menarik anak di bawah umur dari penguasaan atau pengawasan ibu kandung merupakan langkah yang melanggar rasa keadilan terhadap fitrah anak di bawah umur yang seharusnya masih tetap di bawah penguasaan atau pengasuhan ibu kandung kecuali karena dua alasan pengecualian. Terlebih, jika ayah kandung menarik secara paksa anak di bawah umur dari penguasaan ibu kandungnya sebelum adanya putusan pengadilan, maka langkah tersebut tidak hanya melanggar prinsip keadilan melainkan juga melanggar nilai-nilai pancasila, konstitusi, prinsip keadilan dan HAM.
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sekali lagi, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dengan memberikan tafsir terhadap norma Pasal 330 ayat 1 KUHP sepanjang frasa ‘Barang Siapa’ bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung”. Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun’. Dengan demikian sekali lagi, menurut saya, permohonan pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian,” tegas Guntur.
Dalam pembacaan putusan gugatan ini, ada dua hakim yang suaranya bergetar. Dua hakim itu adalah hakim konstitusi Arief Hidayat dan M Guntur Hamzah.
(zap/dhn)