Jakarta –
KPK telah menetapkan mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Budi Sylvana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan. Pengacara Budi, Ali Yusuf, menyampaikan pembelaan untuk kliennya.
Ali awalnya menjelaskan Budi berperan sebagai pejabat pembuat komitmen atau PPK dalam pengadaan APD di masa pandemi COVID-19 tahun 2020. Dia menyebut PPK hanya bertindak sebagai juru bayar. Dia menyebut kuasa pengguna anggarannya adalah BNPB dengan sumber dana berasal dari donasi atau bantuan masyarakat.
Dia juga menyebut Budi memiliki iktikad baik agar pengadaan APD saat itu tidak merugikan negara. Salah satunya, kata Ali, dengan meminta kesepakatan harga baru untuk APD setelah banyak penyedia yang memberi penawaran harga di bawah 48,4 dolar AS untuk set APD. Ali menyebut harga USD 48,4 untuk tiap set APD itu disepakati sebelum Budi ditunjuk sebagai PPK.
“Negosiasi ulang dan meminta penyedia mengajukan penawaran baru serta meminta menghentikan pengiriman APD ini sudah sangat jelas Budi Sylvana berusaha menyelamatkan keuangan negara,” ujar Ali kepada wartawan, Jumat (4/10/2024).
Dia menyebut PPK sebelum Budi adalah Eri Gunawan yang mengundurkan diri karena merasa tidak pernah melihat dokumen penetapan kebutuhan, tidak melihat hasil pekerjaan, tidak pernah melihat serah terima dan distribusi APD dilakukan saat pengadaan belum dilakukan.
“Jadi penetapan harga 48,4 dolar itu bukan inisiatif sendiri dari Budi Sylvana sebagai PPK. Harga tersebut sudah berdasarkan kesepakatan bersama,” ujarnya.
Dia menyebut ada perubahan harga APD setelah negosiasi ulang yang disepakati pada 7 Mei 2020 antara Budi dengan Direktur PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik. Dia mengatakan APD yang telah diterima sampai 27 April 2020 menggunakan harga USD 44 per set belum termasuk pajak.
Sementara, APD yang diterima 28 April sampai 7 Mei 2020 berjumlah 503.500 set dengan harga Rp 366.850 yang sudah termasuk pajak. Dia mengatakan PT PPM dan EKI tetap menjalankan pemenuhan APD 1 juta set pada Mei 2020 dengan harga Rp 294 ribu dan belum termasuk pajak.
Hal itu, katanya, menyebabkan temuan dalam audit tujuan tertentu yang dilakukan BPKP terhadap pengadaan APD tersebut. Ali mengatakan audit itu menyatakan PT EKI dan PT PPM memiliki kewajiban pengembalian kelebihan pembayaran ke kas negara senilai Rp 8.119.537.772 (Rp 8,1 miliar).
Ali mengatakan Budi selaku PPK telah mengirim surat permintaan pengembalian lebih bayar itu kepada PT EKI dan PPM. Dia menyebut hal itu dilakukan Budi karena PPK hanya berperan pasif dalam proses pengadaan.
“Karena memang fungsi PPK dalam pengadaan APD ini pasif hanya sebagai juru bayar yang tidak menentukan harga, dan menunjuk penyedia,” ujarnya.
Ali juga menyoroti langkah KPK yang melakukan penahanan terhadap Budi. Dia meyebut KPK sudah mengumumkan rencana penahanan beberapa hari sebelum penahanan dilakukan.
“Ini tentu juga telah melanggar Pasal 5 UU KPK Nomor 19 tahun 2019 di mana dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPK harus menghormati hak asasi manusia,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK mengumumkan tiga orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan APD pada era pandemi COVID-19. Para tersangka itu ialah mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik.
“KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada tetangga BS di urutan cabang KPK gedung ACLC dan tersangka SW di rutan cabang KPK gedung merah putih. Penanganan untuk 20 hari pertama mereka itu sejak tanggal 3, hari ini, sampai dengan tanggal 22 Oktober tahun 2024,” ujar Asep dalam konferensi pers, Kamis (3/10).
“Terkait satu tersangka lainnya yang belum hadir karena masih ada keperluan, jadi belum hadir dalam kesempatan hari ini,” sambungnya.
(haf/imk)