Jakarta –
Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang menjerat tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong. Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejagung juga mengusut potensi keterlibatan kementerian lain di kasus korupsi impor gula.
“ICW mendesak agar penyidik juga melakukan pengembangan kasus, khususnya untuk menemukan aktor-aktor lain yang diduga terlibat. Sebab, jika dicermati lebih lanjut, kebijakan impor gula kristal mentah tidak hanya dilakukan sepanjang tahun 2015-2016, tapi juga berlanjut ke tahun-tahun berikutnya,” ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha dalam keterangannya, Rabu (30/10/2024).
“Dalam konteks perkara yang terjadi di Kementerian Perdagangan, penyidik juga harus mengurai potensi keterlibatan kementerian lain yang menyangkut kebijakan impor tersebut,” katanya.
ICW mengingatkan Kejagung agar tidak sekadar menjelaskan konteks perkara secara umum, namun juga masuk lebih jauh mengenai unsur pasal di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Seperti diketahui, dua tersangka sejauh ini disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau korupsi dengan kategori kerugian keuangan negara.
“Dua hal yang harus dipahami jika melihat korupsi kategori kerugian keuangan negara, yakni, setiap perbuatan melawan hukum harus diikuti dengan niat jahat (mens rea) dan tidak semua kerugian negara dikategorikan sebagai kejahatan korupsi. Ini penting disampaikan agar langkah aparat penegak hukum tidak distigma negatif atau dianggap politisasi hukum oleh masyarakat,” ujarnya.
Kejagung sebelumnye telah menjerat dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015-2016, yaitu:
1. Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016
2. Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu Gula Kristal Mentah (GKM), Gula Kristal Rafinasi (GKR), dan Gula Kristal Putih (GKP). Mudahnya adalah GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong saat menjadi Mendag, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 (Selanjutnya disebut Permendag Nomor 117 Tahun 2015) tentang Ketentuan Impor Gula disebutkan hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini di mana saat tahun 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada 9 perusahaan swasta yang disebutkan yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
“Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung,” kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara,” ujar Abdul Qohar.
(isa/haf)