Jakarta –
Akhir-akhir ini tak banyak yang dilakukan Oey Tjin Eng. Ia menikmati waktu luang di rumah, lalu menjemput cucu dari sekolah. Barulah ketika ada permintaan wawancara, Oey akan berangkat ke kelenteng Boen Tek Bio, tempatnya mengabdi hingga saat ini.
Usia Oey telah menginjak 80 tahun, langkahnya pelan dan suaranya serak. Namun ingatannya masih tajam, begitu pula dengan lisannya yang dengan lancar menjelaskan seluk-beluk Cina Benteng.
“Sekarang udah satu hal yang (salah) kaprah. Seluruh Tangerang Raya yang merasa dirinya Tionghoa, disebut Cina Benteng. Padahal dari Benteng Makassar sampai Babakan Ujung aja, itu Cina Benteng. Jadi karena ini udah merata begitu, mau bilang apa?” tuturnya di program Sosok detikcom (4/11/2024).
Oey Tjin Eng dikenal sebagai budayawan Cina Benteng. Bukan tanpa alasan, puluhan tahun lamanya ia menjadi pengurus Boen Tek Bio sekaligus staf hubungan masyarakat di sana.
Meski tak lagi menjabat sebagai pengurus dan staf humas di Boen Tek Bio, kehadirannya tetap dinanti di kelenteng. Karena ia juga dikenal sebagai sosok yang mampu menjawab segala pertanyaan perihal Cina Benteng, hingga membuatnya dijuluki ‘Kamus Berjalan’. Tak heran banyak peneliti, mahasiswa, hingga media, masih menghubunginya untuk keperluan wawancara.
“Ya minimal, kalau mahasiswa lulus, punya kebanggaan tersendiri yang nggak bisa dibeli pakai uang,” ucap Oey.
Kecintaan Oey Tjin Eng terhadap budaya leluhur dimulai sejak kecil. Ibu Oey kerap membacakan dongeng, sejarah, dan cerita rakyat Tionghoa, membuatnya mengenal tokoh-tokoh seperti Jenderal Sie Jin Kwie, kisah Beng Lee Kun, atau dongeng Hong Kiauw Lie Tan. Oey juga sering menonton pertunjukan Wayang Potehi, hingga atraksi tukang cerita keliling yang membawakan kisah-kisah legenda Tionghoa. Selain itu, Oey kecil juga gemar bermain di kelenteng Boen Tek Bio, yang kala itu tak jauh dari rumahnya.
“Dulu di sini, Tangerang itu ramai. Ada tukang cerita, cerita berbau Tiongkok lah, Chinese. Bikin panggung di sana, di depan. Bisa main satu minggu sampai setengah bulan. Sekarang udah nggak ada. Pemainnya udah pada mati. Tapi itu perkenalan saya dengan budaya,” kenang Oey.
Rasa penasarannya semakin membuncah tatkala ia membaca buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Buku karya Nio Joe Lan yang terbit tahun 1960 itu memicu rasa ingin tahunya akan sejarah leluhur. Ia pun menekuni berbagai buku sejarah Tionghoa lainnya, sembari sesekali mendiskusikannya dengan kawan-kawan.
Kendati tak menempuh pendidikan formal, tidak sedikitpun semangat belajar Oey Tjin Eng redup. Justru keinginannya semakin kuat mendalami budaya Tionghoa dan melestarikannya lewat pengumpulan arsip dan buku-buku. Semasa menjadi pengurus kelenteng, ia pun turut mendirikan perpustakaan kelenteng Boen Tek Bio yang kini telah menjadi Pusat Kajian Tionghoa Benteng. Semua itu Oey lakukan agar peranakan Tionghoa di Indonesia tetap mengenal budayanya sendiri. Bagi Oey, ketika seseorang mengenal budaya berarti ia mengenal identitasnya.
“Kamu sebagai orang Tionghoa, mau agama apapun silakan. Tapi jangan lupakan akar budaya kamu sendiri, itu kan identitas. Dan sebagai orang Tionghoa, saya merasa bangga,” tutur Oey.
Usaha Oey Tjin Eng pun tak sia-sia. Berkat kontribusinya dalam melestarikan budaya Cina Benteng, ia diganjar dengan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia 2023 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Oey mengaku senang mendapat penghargaan itu, tetapi bukan berarti membuatnya cepat berpuas diri dalam usahanya melestarikan budaya.
“Ya, mungkin karena mereka melihat pengabdian saya kepada masyarakat, kepada mahasiswa. Jadi orang mengenal saya sebagai budayawan, sejarawan Cina Benteng. Padahal kita belajar juga baru. Hahaha. (Tapi) belum puas. Karena sebagai makhluk belajar itu tidak lepas dari kesalahan. Dan juga, memang ada harusnya tidak puas,” ungkap Oey.
(nel/ppy)