Jakarta –
Oey Tjin Eng menyusuri buku-buku di ruangan bernuansa putih, terlihat jejeran buku-buku sejarah, memoar, buku agama, hingga arsip album foto lawas.
Mata pria 80 tahun itu kemudian tertuju pada sebuah buku tebal. Ia pun membawakan buku itu ke atas meja, sampulnya tertulis nama seorang mahasiswa jenjang S3 lengkap dengan nama kampus tempatnya belajar.
“Waktu itu, saya jadi narasumber buat mahasiswa S3. Ini, nama saya ditulis di halaman terima kasih,” ucap Oey, sembari menunjuk namanya di halaman yang dimaksud.
Oey Tjin Eng memang orang lama di Pusat Kajian Tionghoa Benteng yang terletak di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang. Sejak kecil hingga dewasa ia kerap terlihat di area kelenteng untuk berdoa, ikut dalam perayaan-perayaan agama, hingga sekadar bermain dan bertukar pikiran dengan warga setempat.
Berkat kecintaannya pada budaya leluhur, Oey Tjin Eng mengabdikan dirinya sebagai pengurus Boen Tek Bio selama puluhan tahun. Perannya kurang lebih sebagai penerima tamu dan budayawan Cina Benteng.
“Kita kan mengenal budaya lewat sejarah dulu. Kalau misalnya sejarah Tionghoa, saya hafal di luar kepala, hingga dinastinya. Nah, kalau misalnya kita bicara masalah kelenteng, memori saya langsung ke kelenteng. Bicara Cina Benteng, ya memori langsung ke Cina Benteng, itu,” terang Oey di program Sosok detikcom (4/11/2024).
Memori Oey Tjin Eng kembali ke masa lalu, saat ia pertama kali membaca buku tentang peradaban Tionghoa. Kala itu pilihan bukunya jatuh pada Peradaban Tionghoa Selayang Pandang karya Nio Joe Lan. Terpikat akan informasi yang disajikan di dalamnya, Oey Tjin Eng semakin tertarik mempelajari lebih dalam seluk-beluk leluhurnya.
Meski Oey Tjin Eng tidak mengenyam pendidikan formal, semangat literasinya amat tinggi. Ia hobi membaca buku-buku dan bertukar pikiran dengan kawan-kawannya sesama budayawan Tionghoa.
“Kita baca, kita nggak tahu kita tanya sama teman-teman yang tahu. Teman saya kan banyak yang di Jakarta juga, yang menjadi pembicara talkshow, kita tanya sama dia. Kita nggak perlu malu, lah! Kita nggak tahu, kita harus tanya,” jelasnya.
Sebagai peranakan Tionghoa generasi ke-8 yang tiba di Tangerang, Oey Tjin Eng tahu betul akan tanggung jawabnya melestarikan budaya Cina Benteng. Oey yang gemar membaca pun bertekad membangun perpustakaan di kelenteng Boen Tek Bio.
“Waktu zaman saya belum kemari kan, nggak ada perpustakaan, baru belakangan ini aja. Jadi saya dengan ketua Boen Tek Bio (saat itu) punya ide, kita kalau sebagai kelenteng, kita harus punya perpustakaan. Dia bilang, ‘Iya, oke,’ dia setujui. Maka saya setiap bulan itu, dua juta setengah, saya ke Jakarta. Beli buku sedikit-sedikit lah. Ya kita kan berkaitan dengan budaya Tionghoa, kita beli,” ujar Oey.
Kini perpustakaan kelenteng itu telah bertransformasi menjadi Pusat Kajian Tionghoa Benteng. Diresmikan pada 12 Januari 2024, Pusat Kajian Tionghoa Benteng semakin fokus pada tujuan mengarsipkan budaya Cina Benteng dengan berbagai koleksinya.
Mengusung tema GLAM (Gallery, Library, Archive, and Museum), Pusat Kajian Tionghoa Benteng juga menyajikan koleksi foto-foto, lukisan, arsip, hingga alat musik Gambang Kromong. Konsep ini memungkinkan pengunjung untuk turut memahami memori kebudayaan Cina Benteng secara lebih holistik.
“Kalau kita tidak mengarsipkan, atau tidak membentuk badan atau perpustakaan, itu mungkin lambat laun (kebudayaannya) akan hilang, orang nggak tahu. Karena Tionghoa Benteng itu termasuk unik ya, etnis Chinese atau Tionghoa, tapi tidak bisa bahasa Mandarin. Dan juga banyak juga yang berkulit sawo matang. Tapi tetap menjunjung tinggi keagamaan dan kebudayaannya,” jelas Muhammad Ikhsan, pustakawan Pusat Kajian Tionghoa Benteng.
Ikhsan bertutur, Oey Tjin Eng dikenal dengan julukan ‘Kamus Berjalan’ karena pengetahuannya. Meski sudah purna tugas dari jabatan pengurus kelenteng, ia masih dapat ditemui di perpustakaan kelenteng. Oey tetap menerima apabila ada permintaan mahasiswa atau peneliti untuk wawancara seputar topik Cina Benteng.
Hingga memasuki usia senja, Oey Tjin Eng tak lelah menuntun berbagai kalangan untuk mendalami budaya dan leluhurnya. Tak melulu soal sejarah, ia juga gemar berbagi filosofi ala Tionghoa kepada mereka yang bertanya.
“Kadang-kadang Engkong (Oey Tjin Eng) beri nasihat, katanya kalau selagi muda itu berhati-hati dengan asmara. Terus, sepertengahan tahun itu berhati-hati dengan konflik. Terus kalau sudah berumur tua, meminimalisir keinginan, gitu. Itu mungkin filosofi yang bisa kita tanamkan ke diri ya,” ucap Ikhsan.
Oey Tjin Eng memang tak lagi muda, namun tekadnya untuk melestarikan budaya Tionghoa tak pernah sirna. Ia menyambut hangat siapa saja yang ingin belajar darinya. Sebab bagi Oey belajar adalah proses hidup sepanjang hayat.
“Saya udah tua, mau ngapain lagi? Umur saya kan udah 80 ini. Sisa hidup saya, kita harus mengabdi kepada masyarakat lah, minimal. Ya bagaimana nih budaya Tionghoa ini supaya tetap lestari. Kalau mau belajar, silakan datang. Pokoknya belajar itu nggak usah jenuh. Belajar, belajar, belajar terus sampai kita meninggal. Itu kita nggak pernah tamat, sebagai manusia,” tegas Oey Tjin Eng.
(nel/ppy)