Jakarta –
Analis kebijakan ahli madya pada Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Suhardi, mengakui membuat data pendukung fiktif pada surat penawaran pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle. Suhardi mengatakan harga yang dicantumkan dalam data itu dia lihat dari internet.
Hal itu disampaikan Suhardi saat dihadirkan sebagai saksi untuk Terdakwa mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas, Max Ruland Boseke, mantan Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Basarnas tahun anggaran 2014, Anjar Sulistiyono, serta Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta. Persidangan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Pengakuan pembuatan data dukung fiktif itu tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Suhardi nomor 16. BAP itu menerangkan bahwa Suhardi mengambil kop surat swasta dari data sebelumnya sehingga seolah-olah terlihat benar.
“Saya lanjutkan masih di BAP nomor 16, ‘Jika pun terdapat pertanyaan dari DJA seputar dasar penetapan harga satuan atas spek dan kebutuhan, kami sudah menyiapkan data pendukung berupa surat penawaran fiktif yang seolah-olah dari swasta yang menerangkan harga dan spek dari harga yang dibutuhkan. Bahwa rekayasa surat penawaran dari swasta tersebut, saya buat bersama rekan di Basarnas yaitu Mahmud, Aris, Gunawan dan Hafidh. Dengan cara mengambil kop surat dari swasta yang kami miliki untuk kemudian membuat seolah-olah surat penawaran tersebut benar adanya. Data pendukung berupa surat penawaran fiktif dari swasta tersebut, saya dan rekan-rekan buat atas arahan dan sepengetahuan Rudy Hendri Satmoko selaku Direktur Sarpras Basarnas ‘. Seperti ini, apa betul?” tanya jaksa usai membacakan BAP Suhardi.
“Siap, betul Pak Jaksa,” jawab Suhardi.
“Berati fiktif ya?” tanya jaksa.
“Fiktif dalam arti data dukung bapak, bukan usulannya bapak,” jawab Suhardi.
“Kop surat itu dari mana?” tanya jaksa.
“Kami mengambil kop surat yang pernah ada di Sarpras itu kami copy paste, izin Pak Jaksa,” jawab Suhardi.
Hakim anggota Alfis Setyawan juga mendalami harga barang pada data dukung fiktif di surat penawaran proyek pengadaan truk tersebut. Suhardi mengaku mengambil harga itu dari laman internet.
“Itu apa acuanya apa? bisa kemudian mencantumkan harga-harga sejumlah itu?” tanya hakim.
“Yang pertama, kami biasanya membuka referensi lain seperti peralatan melalui internet, terus kemudian cases, cases kalau memang tidak mirip ya kami cari yang misalnya 4×4 sepertu itu Pak,” jawab Suhardi.
“Artinya ini diperoleh dari harga di internet?” tanya hakim.
“Siap, Yang Mulia,” jawab Suhardi.
Hakim juga mendalami siapa yang membuat harga barang dari referensi internet pada data pendukung fiktif tersebut. Suhardi mengaku membuatnya bersama tim di bagian perencanaan.
“Yang lakukan itu siapa? Saudara sendiri?” tanya hakim.
“Kami di perencanaan dan tim bapak,” jawab Suhardi.
Sebelumnya, Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono dan William Widarta didakwa merugikan keuangan negara Rp 20,4 miliar. Max dkk didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum,” kata jaksa KPK, Richard Marpaung, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11).
Perbuatan ini dilakukan pada Maret 2013 hingga 2014. Jaksa mengatakan kasus ini memperkaya Max Ruland sebesar Rp 2,5 miliar dan William sebesar Rp 17,9 miliar.
“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya William Widarta sebesar Rp 17.944.580.000,00 (Rp 17,9 miliar) dan memperkaya Terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,00 (Rp 2,5 miliar), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian,” ujarnya.
Jaksa mengatakan Max Ruland dan Anjar mengatur William sebagai pemenang lelang proyek pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas. Harga penawaran proyek itu dibuat markup 15 persen.
“Bahwa setelah pemaparan tersebut, kemudian William Widarta bersama Riki Hansyah Yudi Muharam (selaku staf marketing CV Delima Mandiri) menyusun penawaran harga, spesifikasi teknis, dan desain gambar kendaraan untuk pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle (RCV) dan pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4 WD tahun 2014 sebagai lampiran pendukung term of reference (ToR) dan rencana anggaran biaya (RAB) yang di kemudian diserahkan kepada Hafidh Rahmadi selaku staf perencanaan pada Dirsarpras Basarnas. Dalam penyusunan harga tersebut, telah ditambahkan (markup) 15 persen dengan rincian 10 persen untuk Dana Komando dan 5 persen untuk keuntungan perusahaan pemenang lelang,” tutur jaksa.
Pada September 2013, Rudy Hendri Satmoko selaku Direktur Sarpras Basarnas menandatangani ToR Sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle (RCV) tahun 2014 dengan harga satuan per unit sebesar Rp 650 juta. Pada Oktober 2013, Rudy Hendro menandatangani ToR sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan truk personel 4 WD tahun 2014 dengan harga satuan Rp 1,4 miliar.
Jaksa mengatakan pencairan untuk pengadaan truk angkut personel 4 WD sebesar Rp 42.558.895.000 (Rp 42,5 miliar). Namun, pada kenyataannya, yang digunakan hanya Rp 32.503.515.000 (Rp 32,5 miliar).
“Bahwa dari pencairan uang pelaksanaan pekerjaan yang PT Trikarya Abadi Prima untuk pembayaran neto pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4 WD tahun 2014 sebesar Rp 42.558.895.000 (Rp 42,5 miliar) ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan tersebut hanya sebesar Rp 32.503.515.000 (Rp 32,5 miliar) sehingga terdapat selisih sebesar Rp 10.055.380.000 (Rp 10 miliar),” ujar jaksa.
Selain itu, selisih sebesar Rp 10.389.200.000 (Rp 10,3 miliar) juga ditemukan pada pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle. Total pencairan untuk pekerjaan pengadaan itu sebesar Rp 43.549.312.500 (Rp 43,5 miliar) tapi yang digunakan hanya Rp 33.160.112.500 (Rp 33,1 miliar).
“Dan untuk pembayaran neto pekerjaan pengadaan rescue carrier vehicle tahun 2014 sebesar Rp 43.549.312.500 ternyata yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan tersebut hanya sebesar Rp 33.160.112.500,00 (Rp 33,1 miliar) sehingga terdapat selisih sebesar Rp 10.389.200.000 (Rp 10,3 miliar) yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara seluruhnya sebesar Rp 20.444.580.000 (Rp 20,4 miliar),” ujarnya.
Max Ruland dkk didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
(mib/dnu)