Nama tokoh pergerakan asal Maluku itu sudah lama diusulkan, tapi hingga tahun ini gelar kehormatan itu belum juga tiba.
Kabar itu memicu reaksi keras dari sejumlah kelompok masyarakat. Koalisi Organisasi Nasional dan Organisasi Timur Indonesia bahkan mengumumkan akan menggelar konsolidasi nasional di Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu, 12 November 2025.
Aksi tersebut disebut sebagai bentuk protes dan desakan agar pemerintah memberi penjelasan terbuka soal kriteria penetapan gelar pahlawan nasional.
“Ini bentuk penghinaan terhadap sejarah dan pejuang asal Timur. Pemerintah seakan menutup mata terhadap fakta perjuangan Abdul Muthalib Sangadji yang jelas-jelas memiliki kontribusi nyata dalam perjuangan kemerdekaan,” tegas aktivis nasional asal Maluku, Sandri Rumanama dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Senin, 10 November 2025.
Sandri menilai keputusan tersebut tidak sekadar persoalan administratif, melainkan menunjukkan sikap birokrasi pusat yang masih kurang menghargai tokoh-tokoh dari kawasan Timur Indonesia.
Menurutnya, Abdul Muthalib Sangadji memiliki catatan panjang dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia aktif dalam berbagai gerakan melawan kolonialisme dan berafiliasi dengan Serikat Islam, sebuah organisasi besar yang turut mendorong semangat kemerdekaan.
“Dengan menyingkirkan namanya dari daftar penerima gelar Pahlawan Nasional, pemerintah telah mengabaikan rekam jejak perjuangan yang terverifikasi sejarah,” jelas dia.
Koalisi tersebut pun berencana menggelar aksi massa bertajuk “Duduki Istana Negara Demi Keadilan Sejarah untuk Timur”, sebagai simbol desakan agar negara lebih adil dalam menilai kontribusi para pejuang dari berbagai daerah.
Namun di sisi lain, pemerintah menegaskan bahwa penetapan gelar pahlawan masional dilakukan melalui proses panjang dan berlapis, melibatkan tim ahli sejarah, akademisi, dan lembaga terkait.
Proses tersebut mempertimbangkan bukti-bukti historis, rekam jejak perjuangan, serta dampak nasional dari kiprah tokoh yang diusulkan.
Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Kementerian Sosial maupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Publik pun menunggu klarifikasi untuk memastikan apakah keputusan tersebut murni didasarkan pada hasil kajian, atau ada aspek lain yang belum disampaikan ke publik.
“Jika pemerintah terus menutup telinga, kami siap turun ke jalan. Ini bukan sekadar soal gelar ini soal harga diri dan keadilan sejarah,” tandas Sandri.

