Namun, di balik semangat optimisme tersebut, tersimpan pertanyaan mendasar: mungkinkah angka setinggi itu benar-benar tercapai? Kapan hal itu bisa terwujud? prasyarat apa yang harus dipenuhi, dan konsekuensi apa yang mungkin muncul bila ambisi itu dikejar terlalu cepat?
Kapan Pertumbuhan Ekonomi 8 persen Bisa Dicapai
Dalam proyeksi makroekonomi, pertumbuhan 8 persen tergolong ambisius, namun bukan mustahil. Berdasarkan pendekatan pertumbuhan majemuk (Compound Growth) dengan asumsi tren pertumbuhan saat ini berada pada kisaran 5,0?”5,2 persen per tahun (growth baseline), disertai peningkatan produktifitas rata-rata 0,2-0,3 persen per tahun dan kenaikan investasi sekitar 1 persen per tahun, maka Indonesia berpotensi mencapai Tingkat pertumbuhan 8 persen (growth target) pada rentang tahun 2035?”2040.
Periode tersebut dapat dikategorikan sebagai jangka waktu realistis, dengan catatan bahwa seluruh pendorong utama ekonomi, investasi, produktivitas, konsumsi, dan ekspor, bergerak secara serentak, efisien, dan berkesinambungan.
Namun, jika reformasi struktural dijalankan secara lebih agresif, investasi produktif meningkat signifikan, dan produktivitas tenaga kerja melonjak, maka target pertumbuhan tersebut berpotensi tercapai lebih cepat. Kuncinya terletak pada transformasi dari ekonomi konsumtif menuju ekonomi produktif yang berbasis inovasi, ekspor, dan industri bernilai tambah tinggi.
Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi yang Harus Dipenuhi
Untuk menembus pertumbuhan ekonomi 8 persen, Indonesia harus memenuhi sejumlah prasyarat fundamental, baik di bidang struktural maupun kebijakan makro. Prasyarat tersebut meliputi:
1. Reformasi Dtruktural dan Deregulasi Nyata
Birokrasi yang efisien dan kepastian hukum merupakan prasyarat mutlak. Iklim investasi tidak akan tumbuh jika regulasi masih berbelit, proses perizinan lambat, dan Tingkat kepastian hukum rendah. Reformasi birokrasi harus menyentuh bukan hanya aspek administratif, tetapi juga perubahan budaya kerja dan orientasi pelayanan publik agar pemerintah menjadi fasilitator Pembangunan, bukan penghambatnya.
2. Lonjakan Investasi dan Hilirisasi Industri
Rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) harus ditingkatkan dari sekitar 33 persen menjadi 40?”42 persen, perkiraan rasio investasi ini berasal dari kombinasi model pertumbuhan Harrod-Domar, empiris negara Asia Timur dan kebutuhan struktural Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebesar 8 persen.
Dana investasi tersebut harus diarahkan ke sektor industri pengolahan, manufaktur ekspor, dan energi terbarukan bukan hanya pada sektor konsumsi dan infrastruktur jangka pendek. Hilirisasi sumber daya alam harus menjadi penggerak utama peningkatan nilai tambah ekonomi nasional sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
3. SDM Produktif dan Inovatif
Kualitas tenaga kerja adalah kunci. Tanpa peningkatan produktivitas, pertumbuhan tinggi hanya bersifat semu. Pendidikan vokasi, pelatihan industri, serta investasi dalam riset dan inovasi teknologi harus diarahkan untuk mendukung transformasi ekonomi berbasis pengetahuan.
4. Stabilitas Politik dan Konsistensi Kebijakan
Pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak bisa dipisahkan dari stabilitas politik dan konsistensi kebijakan. Arah kebijakan lintas pemerintahan harus dijaga agar investasi dan program pembangunan tidak terganggu oleh perubahan kepemimpinan. Konsistensi ini penting untuk membangun kepercayaan dunia usaha dan kredibilitas fiskal pemerintah.
5. Transformasi Ekonomi Digital dan Hijau
Sektor ekonomi digital dan energi bersih berpotensi menjadi mesin baru pertumbuhan nasional. Dengan memperluas konektivitas digital, memperkuat industri kreatif, dan berinvestasi pada energi terbarukan dan efisiensi karbon, Indonesia dapat mempercepat peralihan menuju ekonomi hijau yang berdaya saing global.
Bagaimana Konsekuensinya jika Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Tidak Dapat Dipenuhi
Tanpa terpenuhinya prasyarat di atas, pertumbuhan ekonomi 8 persen hanya akan menjadi retorika politik tanpa fondasi ekonomi yang kuat. Jika reformasi struktural tersendat, maka ekonomi Indonesia beresiko kembali terjebak pada pertumbuhan moderat di kisaran 5 persen, seperti yang terjadi selama satu dekade terakhir.
Dampak langsungnya antara lain: bonus demografi tidak termanfaatkan secara optimal, sehingga muncul pengangguran terselubung; kesenjangan antarwilayah terutama antara Jawa dan luar Jawa semakin melebar karena konsentrasi investasi tidak merata; kemandirian fiskal melemah sebab pertumbuhan penerimaan pajak tidak sejalan dengan peningkatan belanja negara;
Kapasitas industri menurun, menjadikan Indonesia sekedar pasar bagi produk asing, bukan produsen bernilai tambah tanpa reformasi berkelanjutan, mimpi besar “Indonesia Emas 2045” bukan hanya tertunda tetapi bisa terancam sirna.
Bisakah Pertumbuhan 8 Persen Dipercepat
Menurut teori Pertumbuhan Endogen (Endogenous Growth Theory) atau pertumbuhan intensif yang dikembangkan oleh Paul Romer dan Robert Lucas, pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat dan dipertahankan, bukan hanya melalui akumulasi peningkatan modal fisik (seperti pabrik dan mesin), melainkan melalui inovasi, pengetahuan, dan kualitas manusia yang menjadi faktor utama dari dalam sistem ekonomi itu sendiri (endogenous factors), langkah-langkah konkret seperti percepatan investasi strategis, deregulasi besar-besaran, serta optimalisasi potensi energi hijau dan ekonomi digital harus dilakukan.
Dengan strategi yang konsisten, pertumbuhan 8 persen berpotensi dicapai lebih cepat, bahkan sebelum tahun 2030. Namun demikian, percepatan tersebut memerlukan disiplin fiskal yang ketat, reformasi birokrasi tanpa kompromi, dan stabilitas politik yang solid. Tanpa fondasi yang kuat, pertumbuhan yang terlalu cepat justru berisiko menciptakan ketidakseimbangan ekonomi baru.
Dampak Ikutan dan Risiko yang Dapat Membebani Masyarakat dan Negara
Mengejar pertumbuhan tinggi bukan tanpa biaya excess burden atau beban tambahan sering muncul dalam proses akselerasi ekonomi yang bisa mengurangi manfaat pertumbuhan ekonomi itu sendiri sehingga perlu diantisipasi dengan kebijakan matang dan terukur. Beban tambahan tersebut diantaranya adalah:
1. Tekanan Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Dorongan industrialisasi yang terlalu cepat berpotensi meningkatkan eksploitasi lahan, polusi udara, serta degradasi sumber daya alam.Tanpa kebijakan lingkungan yang ketat, pertumbuhan 8 persen justru bisa meninggalkan jejak ekologis (ecological footprint) jangka Panjang yang sulit dipulihkan.
2. Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Pertumbuhan tinggi sering kali tidak dinikmati secara merata. Sektor formal melaju pesat, sementara sektor informal tertinggal. Akibatnya, kesenjangan pendapatan bisa melebar, yang berpotensi menimbulkan tekanan sosial dan politik di akar rumput.
3. Inflasi dan Kenaikan Biaya Hidup
Peningkatan permintaan akibat ekspansi ekonomi dapat memicu inflasi permintaan (demand-pull inflation), yang pada gilirannya menurunkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Tanpa intervensi kebijakan harga dan subsidi yang tepat, inflasi bisa menjadi pengikis kesejahteraan.
4. Beban Fiskal dan Utang Negara
Ambisi pertumbuhan cepat biasanya diikuti dengan peningkatan belanja publik dan pemberian insentif fiscal yang besar. Jika tidak diimbangi peningkatan penerimaan negara, defisit anggaran dan beban utang publik akan membengkak, membatasi ruang fiscal pemerintah di masa depan.
5. Tekanan Sosial dan Urbanisasi Berlebih
Pertumbuhan pesat sering menarik arus migrasi besar-besaran ke kota-kota utama. Tanpa perencanaan tata ruang dan infrastruktur sosial yang memadai, akan muncul persoalan klasik: kemacetan, pemukiman padat, dan ketimpangan akses layanan publik.
Dengan kata lain, pertumbuhan tinggi adalah pedang bermata dua -mampu membuka peluang kesejahteraan, tetapi juga berpotensi menimbulkan beban sosial, fiskal, dan ekologis jika tidak dikelola secara hati-hati.
Apa yang Harus Kita Lakukan SekarangUntuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen yang berkualitas dan berkeadilan, sejumlah langkah strategis perlu segera ditempuh dan dijalankan secara konsisten:
– Fokus pada reformasi jangka panjang, bukan kebijakan populis sesaat yang hanya memberikan efek jangka pendek tanpa memperkuat fondasi ekonomi.
– Dorong hilirisasi dan diversifikasi industri agar ekonomi tidak bergantung pada komoditas mentah yang bernilai tambah rendah.
– Kembangkan ekonomi digital dan hijau sebagai mesin pertumbuhan baru yang berorientasi masa depan dan ramah lingkungan.
– Perkuat Pendidikan, riset dan pelatihan tenaga kerja, guna meningkatkan produktivitas nasional serta mempercepat transisi menuju ekonomi berbasis pengetahuan.
– Pastikan kebijakan pembangunan bersifat inklusif, agar manfaat pertumbuhan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dari perkotaan hingga pedesaan.
Pertumbuhan 8 persen harus dikejar bukan hanya demi angka, tetapi demi keadilan sosial dan kesejahteraan berkelanjutan.
Penutup
Mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah ambisi besar yang layak diperjuangkan, namun, ambisi itu harus diiringi dengan kesadaran akan batas-batas kemampuan sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pertumbuhan tinggi tanpa keadilan dan keberlanjutan hanya akan menghasilkan angka tanpa makna.
Indonesia memiliki semua modal untuk melompat lebih jauh: sumber daya alam, tenaga kerja muda, dan potensi digital yang luar biasa. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk konsisten, disiplin dalam melaksanakan reformasi, dan bijak dalam menjaga keseimbangan antara kecepatan dan keberlanjutan.
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting bukanlah apakah kita bisa tumbuh 8 persen, melainkan apakah pertumbuhan itu akan benar-benar membawa kesejahteraan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Guntur Praramadhana. MA
Pemerhati ekonomi dan kebijakan publik.

