Jakarta –
Beberapa anggota Polri sedang menjalankan misi perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Afrika Tengah. Mereka memiliki cara untuk mengobati rasa rindu tanah air selama berpuasa.
Kombes Wahid Kurniawan selaku Kasi Administrasi FPU (Formed Police Unite) 4 MINUSCA (United Nations Multidimesional Integrated Stabilization Mission in the Central African Republic) yang juga kontingen salah satu anggota Polri di Bangui, Afrika Tengah, menceritakan momen Ramadan di sana.
Wahid mengatakan lama menjalankan ibadah di Bangui dan Indonesia tidak jauh berbeda. Mereka biasanya sahur pada pukul 04.00 WIB dan berbuka pada pukul 18.00 WIB.
Hanya, karena mayoritas masyarakat di sana nonmuslim, dia dan yang lainnya sedikit terkendala dalam hal fasilitas peribadatan. Untuk pelaksanaan Tarawih pun biasanya mereka lakukan di camp.
“Perbedaannya di sini karena mayoritas penduduk Bangui 80% beragama Kristen, jarang sekali kita jumpai masjid. Maka saat ibadah Tarawih kita laksanakan di dalam camp kita (Garuda Camp),” kata Wahid kepada detikcom, Minggu (2/4/2023).
Bahkan camp tersebut pun tak jarang digunakan oleh masyarakat sekitar dan kontingen negara lain yang beragama Islam untuk melaksanakan solat Tarawih berjemaah. Kondisi di sana sendiri hanya ada musala yang letaknya hanya berada di wilayah komunitas muslim.
“Masjid (lebih tepatnya seperti musala) ada di pinggiran kota Bangui dan di daerah PK5 (mayoritas muslim Afrika di Bangui tinggal di sana),” ujarnya.
Wahid menuturkan dia harus beradaptasi dengan lingkungan di sana, termasuk soal sajian sahur hingga berbuka puasa. Biasanya, menu andalannya adalah daging bakar khas Afrika yang diberi irisan bawang hingga cabai.
“Menu spesial tetap choutary makanan khas di sini. Daging bakar yg diberi bubuk cabai dan irisan bawang gitu aja,” jelasnya.
Anggota Polri menjalankan puasa Ramadan di Afrika Timur. (Foto: dok. Istimewa)
|
Memasak Masakan Indonesia
Kontingen Polri lainnya, Ipda Cahyani Kartika, yang bertugas di Individual Police Officer (IPO) pada misi PBB ini, lebih suka makanan khas Tanah Air. Wanita kelahiran Bandung yang sudah bertugas selama 1,4 tahun di Bangui itu bercerita bahwa dia kerap kali memasak masakan Indonesia.
“Kemarin itu saya bikin lepet singkong, daun ubi singkong, saya masak sendiri. Saya tinggal sendiri kan. Bahan-bahan kayak kemiri, itu dari Indonesia kita bawa waktu itu. Cuman makanan lain kayak sayuran hampir mirip di Indonesia. Jadi bikin takjil, bikin es buah, seadanya nggak terlalu gimana. Mirip Indonesia,” kata Kartika.
Kartika mengatakan suasana Ramadan di Afrika Tengah berbeda dengan suasana di Jakarta yang kental dengan budaya keislamannya. Selain membawa suasana Ramadan, memasak masakan Indonesia dapat mengobati rasa rindu Kartika kepada keluarganya.
“Biasanya masak ayam ungkep, tinggal saya goreng. Kalau saya kangen es teler, saya bikin. Jadi supaya ngerasa suasana Indonesia-nya, bawa vibes Indonesia ke sini. Lebih kangen keluarga, adik saya, abang saya, kebetulan ibu-bapak saya sudah nggak ada,” kata dia.
“Biasanya kan puasa enaknya sama keluarga, tapi saya sudah biasa lah. Lagi tugas juga dinikmati saja. Paling di makanannya, saya coba masak masak, oh dulu mama pernah masak, jadi nggak ngerasa sendirian,” imbuhnya.
Kartika menambahkan, meskipun terpisah jarak dengan keluarga, menjadi kontingen di misi PBB di Afrika Tengah merupakan pengalaman berharga dalam hidupnya. Diapun bangga bisa ikut andil dalam misi tersebut.
“Itu sudah jadi bagian dari hidup saya, menjadi seorang peace keeper, saya sangat bangga sekali. Saya bisa memberikan yang terbaik untuk negara saya, masyarakat di sini. Suatu kendala bukan merupakan hambatan berarti, itu sudah menjadi kebiasaan dan menjadi bagian hidup saya,” pungkasnya.
(wnv/aik)