Close Menu
IDCORNER.CO.ID

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    What's Hot

    Eric Garcia Hampir Perpanjang Kontrak dengan Barcelona

    November 24, 2025

    Lembaga DOGE Ternyata Sudah Dibubarkan Donald Trump

    November 24, 2025

    Gempa M5,2 Guncang Blitar Jawa Timur : Okezone News

    November 24, 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    IDCORNER.CO.IDIDCORNER.CO.ID
    • Homepage
    • Berita Nasional
    • Berita Teknologi
    • Berita Hoaks
    • Berita Dunia
    • Berita Olahraga
    • Program Presiden
    • Berita Pramuka
    IDCORNER.CO.ID
    Home»Berita Nasional»Dinamika Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

    Dinamika Wacana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

    PewartaIDBy PewartaIDNovember 12, 2025No Comments6 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email



    WACANA pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto telah menjadi isu yang berulang dan memantik polarisasi di masyarakat Indonesia. 

    Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dinamika wacana tersebut dengan menggunakan lensa Teori Komunikasi Krisis dan Jurnalisme Damai. 



    Melalui data dari Drone Emprit, sebuah platform big data media sosial Indonesia, artikel ini memetakan narasi, aktor, dan sentimen yang berkembang. 

    Analisis menunjukkan bahwa wacana ini berpotensi memicu krisis sosial jika tidak dikelola dengan strategi komunikasi yang tepat. 

    Pendekatan Jurnalisme Damai ditawarkan sebagai solusi untuk memoderasi diskusi, bukan dengan menyembunyikan fakta sejarah, tetapi dengan memusatkan perhatian pada rekonsiliasi, pembelajaran, dan pemahaman yang komprehensif atas warisan Orde Baru. 

    Pendahuluan 

    Gelar Pahlawan Nasional adalah penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada individu yang dianggap berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Namun, ketika nama Soeharto — Presiden kedua Indonesia yang memerintah selama 32 tahun — diusulkan, gelombang pro dan kontra tidak terelakkan. Di satu sisi, Soeharto dikenang sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas ekonomi. 


    Analisis Wacana Berdasarkan Data Drone Emprit 

    Data dari Drone Emprit (diakses dari pers.droneemprit.id) pada periode 20 Oktober-7 November 2025 ketika wacana ini mengemuka memberikan gambaran yang jelas tentang fragmentasi narasi. 

    1.  Polarisasi Narasi yang Tajam: Percakapan di media sosial terbelah menjadi dua kubu yang nyaris biner. Kubu pro-gelar banyak menyoroti stabilitas ekonomi, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur di era Soeharto. Narasi ini sering didukung oleh akun-akun yang diasosiasikan dengan kelompok tertentu dan organisasi massa pendukung. Sementara itu, kubu kontra-gelar secara konsisten mengangkat isu pelanggaran HAM (seperti peristiwa 1965-66, Talangsari, Tanjung Priok, dan penembakan misterius), korupsi masif, dan dwifungsi ABRI yang represif. Narasi ini banyak disuarakan oleh aktivis, akademisi, dan korban Orde Baru. Polarisasi semacam ini merupakan ciri khas dari wacana publik di era digital, yang sering kali menyederhanakan kompleksitas sejarah menjadi pertentangan biner (Sunstein, 2017). 

    2.  Dominasi Sentimen Negatif: Data Drone Emprit seringkali menunjukkan bahwa volume percakapan dengan sentimen negatif dan marah lebih dominan dibandingkan dengan sentimen positif atau netral. Hal ini mengindikasikan bahwa wacana ini bukanlah diskusi yang dingin dan rasional, melainkan telah menjadi medan pertempuran simbolik yang sarat emosi dan luka sejarah. 
    Emosi seperti kemarahan memiliki nilai penyebaran yang tinggi di media sosial, yang dapat dengan cepat memanaskan suasana dan memicu konflik (Berger & Milkman, 2012). 

    3.  Aktor dan Amplifikasi: Wacana ini sering dihidupkan oleh pernyataan politisi atau tokoh publik tertentu. Setiap pernyataan tersebut langsung diamplifikasi oleh media arus utama dan media sosial, menciptakan siklus berita yang memanaskan suhu politik. Bot dan akun buzzer juga diduga berperan dalam memolarisasi wacana lebih lanjut, menciptakan ilusi konsensus (illusion of 
    consensus) atau memperuncing perbedaan (Woolley & Howard, 2016). 

    Krisis Komunikasi dan Ancaman Kohesi Sosial 

    Dari perspektif Teori Komunikasi Krisis, wacana pemberian gelar kepada Soeharto dapat dikategorikan sebagai krisis reputasi dan krisis kepercayaan bagi pemerintah jika dipaksakan. Lebih dari itu, ini adalah krisis identitas nasional. 

    1.  Kegagalan dalam Instruksi dan Penyesuaian: Menurut model pemulihan reputasi (reputation repair) Coombs (2007), komunikasi krisis yang efektif harus sesuai dengan tanggung jawab yang dirasakan publik (attribution of responsibility). Dalam konteks ini, pemerintah (sebagai “organisasi”) gagal memberikan narasi tunggal yang dapat mempersatukan. Alih-alih menawarkan penyesuaian nilai –misalnya, dengan mengakui jasa di satu bidang sekaligus mengakui kesalahan di bidang lain — wacana justru terjebak dalam dikotomi “pahlawan mutlak” vs “penjahat mutlak”. Kegagalan ini berisiko memperburuk krisis kepercayaan publik. 

    2.  Memperburuk Keterbelahan Sosial (Social Fault Lines): Wacana yang terpolarisasi ini berpotensi mengaktifkan kembali “patahan sosial” warisan Orde Baru. Ia membagi masyarakat antara yang merasa diuntungkan dan yang dirugikan oleh rezim tersebut. Bagi korban dan keluarga 
    korban pelanggaran HAM, pemberian gelar ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka akan keadilan dan pengakuan, sebuah bentuk “luka simbolis” (symbolic wounding) yang menghambat proses rekonsiliasi nasional (Barsalou, 2006). Ini bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan menyentuh luka psikologis yang dalam. 

    Solusi Konstruktif: Pendekatan Jurnalisme Damai 

    Di tengah kebuntuan komunikasi krisis ini, Jurnalisme Damai (Peace Journalism) menawarkan perspektif alternatif. Dikembangkan oleh Johan Galtung dan kemudian dipopulerkan oleh Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, Jurnalisme Damai bukan berarti menghindari konflik atau hanya memberitakan hal-hal yang positif. Sebaliknya, ia berusaha meliput konflik secara mendalam dengan fokus pada pemberian suara kepada semua pihak yang terlibat dan mengeksplorasi solusi 
    yang mungkin (Lynch & McGoldrick, 2005). 

    Penerapan Jurnalisme Damai dalam wacana Soeharto akan meliputi: 

    1.  Menggeser Fokus dari “Pahlawan vs Penjahat” ke “Pembelajaran Kolektif”: Alih-alih bertanya “Apakah Soeharto layak jadi pahlawan?”, media dan publik bisa diajak untuk bertanya, “Apa yang bisa kita pelajari dari era Soeharto untuk membangun Indonesia yang lebih baik?” Pertanyaan ini membuka ruang untuk mengakui pencapaian pembangunan tanpa menutupi dosa-dosa sejarah, sebuah pendekatan yang sejalan dengan upaya membangun memori kolektif yang inklusif. 

    2.  Memusatkan Perhatian pada Korban dan Rekonsiliasi: Jurnalisme Damai akan memberikan panggung yang lebih luas kepada suara-suara korban, bukan untuk membenci, tetapi untuk mempromosikan empati dan memahami mengapa gelar ini begitu menyakitkan bagi mereka. Liputan dapat diarahkan pada upaya-upaya rekonsiliasi yang sudah ada atau yang perlu dibangun, seperti model rekonsiliasi berbasis kebenaran (truth and reconciliation). 

    3.  Mengeksplorasi Solusi Kreatif: Daripada terjebak pada debat “ya atau tidak”, Jurnalisme Damai dapat mengeksplorasi opsi ketiga. Misalnya, apakah ada bentuk penghargaan lain selain gelar Pahlawan Nasional yang lebih tepat dan tidak menimbulkan luka baru? Atau, apakah proses 
    pemberian gelar harus menunggu penyelesaian kasus HAM terlebih dahulu? Ini adalah upaya untuk “membingkai ulang” (reframing) konflik agar lebih produktif. 

    4.  Membedah Narasi secara Seimbang: Media dapat secara aktif menelusuri dan mempresentasikan data ekonomi era Soeharto secara kritis, sembari secara serius membedah dokumen-dokumen dan kesaksian tentang pelanggaran HAM. Tujuannya adalah untuk menciptakan pemahaman yang utuh dan kompleks, bukan hitam-putih, sehingga masyarakat dapat membuat penilaian yang lebih informed. 

    Kesimpulan 

    Data dari Drone Emprit telah mengonfirmasi bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah ranah yang sarat dengan muatan emosional dan sejarah yang belum tuntas. 

    Pendekatan komunikasi yang konfrontatif dan biner hanya akan memperdalam krisis dan mengancam kohesi sosial bangsa. Melalui lensa Komunikasi Krisis, kita melihat bahwa memaksakan gelar ini tanpa resolusi terhadap 
    masa lalu adalah strategi yang berisiko tinggi. 

    Sebaliknya, pendekatan Jurnalisme Damai menawarkan jalan tengah yang lebih bijaksana: mengakui kompleksitas sejarah, mendengarkan semua pihak yang terluka, dan mengubah wacana dari pertempuran memenangkan narasi menjadi ruang pembelajaran bersama untuk masa depan Indonesia yang lebih damai dan berkeadilan. 

    Sebelum gelar pahlawan diberikan, yang lebih urgent adalah memulihkan kepercayaan dan merekonsiliasi ingatan kolektif bangsa yang masih terbelah, sebuah proses yang membutuhkan 
    kedewasaan berkomunikasi dari semua elemen bangsa.

    Deddy Rahman
    Mahasiswa S2 Komunikasi Krisis Universitas Pancasila 





    Source link

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    PewartaID

    Related Posts

    Lembaga DOGE Ternyata Sudah Dibubarkan Donald Trump

    November 24, 2025

    Jepang Naikkan Biaya Izin Tinggal hingga 10 Kali Lipat

    November 24, 2025

    Kinerja Perbankan Diprediksi Tetap Solid hingga Akhir 2025

    November 24, 2025

    Leave A Reply Cancel Reply

    Demo
    Don't Miss

    Eric Garcia Hampir Perpanjang Kontrak dengan Barcelona

    Berita Olahraga November 24, 2025

    Ligaolahraga.com -Berita Liga Spanyol: Eric Garcia hampir meninggalkan Barcelona belum lama ini. Bahkan, pada bulan…

    Lembaga DOGE Ternyata Sudah Dibubarkan Donald Trump

    November 24, 2025

    Gempa M5,2 Guncang Blitar Jawa Timur : Okezone News

    November 24, 2025

    Reuni Akbar 212 Kembali Digelar di Monas, Panitia Undang Prabowo

    November 24, 2025
    Stay In Touch
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Our Picks

    Eric Garcia Hampir Perpanjang Kontrak dengan Barcelona

    November 24, 2025

    Lembaga DOGE Ternyata Sudah Dibubarkan Donald Trump

    November 24, 2025

    Gempa M5,2 Guncang Blitar Jawa Timur : Okezone News

    November 24, 2025

    Reuni Akbar 212 Kembali Digelar di Monas, Panitia Undang Prabowo

    November 24, 2025

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

    Demo
    © 2025 ID Corner News

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.